Cerpen Karya Gati Febrialdi
Ku baca ulang undangan ulang tahun dari Nabila. Haruskah aku datang ke
acara yang membuatku seperti berada di neraka? – Jelas saja,
teman-temanku pasti datang bersama kekasihnya. Lalu bagaimana denganku?
Ada kilometer diantara hubunganku sehingga tidak mungkin aku mengajaknya
ke acara itu. Jangankan hal itu, aku butuh waktu beberapa
bulan untuk sekedar menggenggam tangannya. Dia di sana (Padang, Sumatera Barat), sedangkan aku di sini (Muara Bungo, Jambi). Tapi, meski dalam jarak aku mampu bertahan selama 27 bulan, tentu saja tanpa berkencan, bertemu, atau membanggakannya di depan teman-temanku – Setelah 5 bulan berpacaran, dia melanjutkan sekolah (SMA) di Padang.
Seandainya kau ada di sini denganku, mungkin ku tak sendiri. Bayanganmu yang selalu menemaniku. Hiasi malam sepiku..
Handphoneku bordering. Ku lihat ada panggilan dari dia – Aldi.
“Halo, Sayang. Lagi ngapain? Aku ganggu kamu?” Suaranya terdengar lembut. Sungguh, aku merindukan sapaan ini secara langsung.
“Enggak, Sayang. Lagi bingung nih. Ada undangan dari Nabila. Dia ulang tahun. Aku harus datang atau enggak? Suasana di sana pasti bikin nyesek. Semua gandeng pacar. Nah aku?” Suaraku terdengar manja.
“Sayang, memang ada jarak di antara kita. Tapi, kamu tetap harus datang. Kamu lupa? Aku selalu ada di situ, di hatimu.”
“Iya. Tapi tetep aja nyesek liat mereka bisa berduaan, becanda bareng, kangen-kangenan, pegangan tangan. Kita? Harus tunggu libur panjang dulu. Itupun kalau kamu pulang. Toh sekarang udah bulan April, kamu gak pulang. Padahal janjinya bulan Februari bakalan pulang.”
“Sayang, pertemuan mereka nggak akan seindah pertemuan kita. Rasa kangen mereka juga nggak akan sehebat rasa kangen kita. Percayadeh, Tuhan udah persiapkan pertemuan indah. Kamu sabar ya, Sayang. Mending sekarang kamu siap-siap bingkis kado terus mandi. Berangkatdeh. Have fun hunny. I love you..” Dia langsung memutuskan sambungan telepon dan memintaku untuk tetap datang. Terdengar kecupan lembut di sana. Hatiku bersesir, pipiku memerah. Bodoh. Padahal hanya melalui sambungan telepon.
Suasana di rumah Nabila terlihat berbeda. Banyak cahaya kemerlap yang di hasilkan lampu-lampu yang di pasang antara ranting pohon dan di dinding rumah – Lokasi acara memang di luar rumah. Beberapa lilin di pasang untuk lebih memperanggun suasana. Tidak lupa balon berwarna cerah dan semua barang-barang yang biasa digunakan dalam acara ulang tahun remaja. Suasana di sini begitu indah, penuh cahaya-cahaya lembut yang menyinari. Ada juga cahaya dari jauh yang mengalahkan keindahan cahaya di rumah Nabila – bintang. Aku akui, di sini ramai. Tapi, suasana hatiku jauh berbeda. Hatiku justru merasa semakin sunyi melihat begitu banyaknya orang berdatangan – bersama kekasihnya. Cahaya-cahaya di sini semakin meredupkan hatiku. Di tambah lagi dinginnya angin malam yang semakin membuat hatiku sesak. Aku mencari Nabila, berharap setelah mengucapkan selamat ulang tahun, aku bisa segera pulang.
“Sialan!” Makiku. Aku seperti di tampar begitu keras. Kenapa mereka terlihat begitu bahagia? Mereka begitu mudah bertemu. Sangat mudah! Ini tidak adil! Aku butuh waktu lama untuk bisa seperti mereka. Mataku mulai memanas.
“Seharusnya aku di rumah sekarang.” Tangisku pecah di tengah keramaian.
“Kenapa? Di sini indah. Banyak lilin dan lampion. Ada bintang juga di atas sana. Kamu bisa lihat suasana langit dengan bebas, sama aku.” Suara itu terdengar lembut, dan kali ini tanpa perantara apapun. Bahkan terdengar lebih lembut. Ku balikkan badan dan..
“Aldi?!” Ku peluk tubuhnya erat-erat. Butiran air itu semakin deras di mataku, namun telah berubah arti menjadi butiran air kebahagiaan. “Kok kamu di sini?” Aku bertingkah manja di sela tangis.
“Karna ini adalah pertemuan indah kita. Jangan nangis lagi. Sekarang, kita sama kayak mereka. Kamu bisa peluk aku, pegang tangan aku, dan bisa tumpahkan semua rasa kangen kamu.” Dia membalas pelukanku. “Liat, bahkan kita jauh lebih indah. Nggak selamanya tanpa jarak itu indah, Sayang.” Tangannya mengarah ke sudut kolam. Di sana ada sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Wanita itu menagis di tengah makiannya. Dia antara mereka ada wanita lain yang menerima makian dengan mulut membungkam. Pria itu mencoba berbicara, tapi nampaknya emosi dan rasa sakit sudah meledak bagai petasan tanpa henti. Aku menatap ke arah Aldi. Menganggukkan kepala dengan lembut, mengisyaratkan bahwa aku mengerti maksudnya.
“Kita jauh lebih istimewa dalam jarak. Kita tetap setia walaupun sulit buat ketemuan. Jangan nangis lagi.” Suaranya begitu lirih. Jantungku berdegup kencang. Ada kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku saat bibirnya mendarat lembut di keningku. “Aku sayang kamu, Ti. Sayang banget.” Sekali lagi dia memeluk tubuhku.
“Aku juga sayang kamu. Jangan kayak mereka. Jangan pergi tanpa kembali lagi.” Ucapan itu keluar bersamaan dengan air mata, bahagia.
“Aku janji. Aku janji, Sayang. Sekarang, kita cari Nabila. Kamu belum kasih ucapankan?” Aku mengangguk. Dia melepaskan pelukannya – untuk kembali memelukku suatu saat. Kami melangkah pergi. Tangannya menggenggam erat tanganku. Tidak ada yang berbeda lagi antara kami dan semua orang yang hadir.
bulan untuk sekedar menggenggam tangannya. Dia di sana (Padang, Sumatera Barat), sedangkan aku di sini (Muara Bungo, Jambi). Tapi, meski dalam jarak aku mampu bertahan selama 27 bulan, tentu saja tanpa berkencan, bertemu, atau membanggakannya di depan teman-temanku – Setelah 5 bulan berpacaran, dia melanjutkan sekolah (SMA) di Padang.
Seandainya kau ada di sini denganku, mungkin ku tak sendiri. Bayanganmu yang selalu menemaniku. Hiasi malam sepiku..
Handphoneku bordering. Ku lihat ada panggilan dari dia – Aldi.
“Halo, Sayang. Lagi ngapain? Aku ganggu kamu?” Suaranya terdengar lembut. Sungguh, aku merindukan sapaan ini secara langsung.
“Enggak, Sayang. Lagi bingung nih. Ada undangan dari Nabila. Dia ulang tahun. Aku harus datang atau enggak? Suasana di sana pasti bikin nyesek. Semua gandeng pacar. Nah aku?” Suaraku terdengar manja.
“Sayang, memang ada jarak di antara kita. Tapi, kamu tetap harus datang. Kamu lupa? Aku selalu ada di situ, di hatimu.”
“Iya. Tapi tetep aja nyesek liat mereka bisa berduaan, becanda bareng, kangen-kangenan, pegangan tangan. Kita? Harus tunggu libur panjang dulu. Itupun kalau kamu pulang. Toh sekarang udah bulan April, kamu gak pulang. Padahal janjinya bulan Februari bakalan pulang.”
“Sayang, pertemuan mereka nggak akan seindah pertemuan kita. Rasa kangen mereka juga nggak akan sehebat rasa kangen kita. Percayadeh, Tuhan udah persiapkan pertemuan indah. Kamu sabar ya, Sayang. Mending sekarang kamu siap-siap bingkis kado terus mandi. Berangkatdeh. Have fun hunny. I love you..” Dia langsung memutuskan sambungan telepon dan memintaku untuk tetap datang. Terdengar kecupan lembut di sana. Hatiku bersesir, pipiku memerah. Bodoh. Padahal hanya melalui sambungan telepon.
Suasana di rumah Nabila terlihat berbeda. Banyak cahaya kemerlap yang di hasilkan lampu-lampu yang di pasang antara ranting pohon dan di dinding rumah – Lokasi acara memang di luar rumah. Beberapa lilin di pasang untuk lebih memperanggun suasana. Tidak lupa balon berwarna cerah dan semua barang-barang yang biasa digunakan dalam acara ulang tahun remaja. Suasana di sini begitu indah, penuh cahaya-cahaya lembut yang menyinari. Ada juga cahaya dari jauh yang mengalahkan keindahan cahaya di rumah Nabila – bintang. Aku akui, di sini ramai. Tapi, suasana hatiku jauh berbeda. Hatiku justru merasa semakin sunyi melihat begitu banyaknya orang berdatangan – bersama kekasihnya. Cahaya-cahaya di sini semakin meredupkan hatiku. Di tambah lagi dinginnya angin malam yang semakin membuat hatiku sesak. Aku mencari Nabila, berharap setelah mengucapkan selamat ulang tahun, aku bisa segera pulang.
“Sialan!” Makiku. Aku seperti di tampar begitu keras. Kenapa mereka terlihat begitu bahagia? Mereka begitu mudah bertemu. Sangat mudah! Ini tidak adil! Aku butuh waktu lama untuk bisa seperti mereka. Mataku mulai memanas.
“Seharusnya aku di rumah sekarang.” Tangisku pecah di tengah keramaian.
“Kenapa? Di sini indah. Banyak lilin dan lampion. Ada bintang juga di atas sana. Kamu bisa lihat suasana langit dengan bebas, sama aku.” Suara itu terdengar lembut, dan kali ini tanpa perantara apapun. Bahkan terdengar lebih lembut. Ku balikkan badan dan..
“Aldi?!” Ku peluk tubuhnya erat-erat. Butiran air itu semakin deras di mataku, namun telah berubah arti menjadi butiran air kebahagiaan. “Kok kamu di sini?” Aku bertingkah manja di sela tangis.
“Karna ini adalah pertemuan indah kita. Jangan nangis lagi. Sekarang, kita sama kayak mereka. Kamu bisa peluk aku, pegang tangan aku, dan bisa tumpahkan semua rasa kangen kamu.” Dia membalas pelukanku. “Liat, bahkan kita jauh lebih indah. Nggak selamanya tanpa jarak itu indah, Sayang.” Tangannya mengarah ke sudut kolam. Di sana ada sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Wanita itu menagis di tengah makiannya. Dia antara mereka ada wanita lain yang menerima makian dengan mulut membungkam. Pria itu mencoba berbicara, tapi nampaknya emosi dan rasa sakit sudah meledak bagai petasan tanpa henti. Aku menatap ke arah Aldi. Menganggukkan kepala dengan lembut, mengisyaratkan bahwa aku mengerti maksudnya.
“Kita jauh lebih istimewa dalam jarak. Kita tetap setia walaupun sulit buat ketemuan. Jangan nangis lagi.” Suaranya begitu lirih. Jantungku berdegup kencang. Ada kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku saat bibirnya mendarat lembut di keningku. “Aku sayang kamu, Ti. Sayang banget.” Sekali lagi dia memeluk tubuhku.
“Aku juga sayang kamu. Jangan kayak mereka. Jangan pergi tanpa kembali lagi.” Ucapan itu keluar bersamaan dengan air mata, bahagia.
“Aku janji. Aku janji, Sayang. Sekarang, kita cari Nabila. Kamu belum kasih ucapankan?” Aku mengangguk. Dia melepaskan pelukannya – untuk kembali memelukku suatu saat. Kami melangkah pergi. Tangannya menggenggam erat tanganku. Tidak ada yang berbeda lagi antara kami dan semua orang yang hadir.
Aku mengerti, Di. Bukan jarak yang menjadi permasalahnnya, tapi
ketulusan Dan kesetiaan. Yang dekat seperti mereka bukan berarti tanpa
masalah seperti yang aku pikirkan. Dan bagaimanapun kilometer itu ada,
jika kita selalu percaya ada pertemuan indah, semua akan baik-baik saja.
Selama kau menjaga hatimu untukku di sana, penantianku akan menjadi
milikmu seutuhnya. Aku berjanji. Kataku dalam hati.
PROFIL PENULIS
Nama : Gati PramestiE-mail : gati.pramesti@yahoo.co.id
Alamat : Desa Pematang Sapat (PMU) Kec. Rimbo Bujang, Kab. Tebo, Jambi.
cukup bagus, dan tidak anoyed
BalasHapusthx sudah ngomen !
BalasHapus