Rabu, 24 September 2014

Henry


“Jina-ssi, ini jaketnya..”
“Jin, sabuk sama dasinya!”
“Jina~ kaos kakinya yang biru doong masa coklat sih. Mana nyambung?”
“Aaaaaaaa!!”
Jina berteriak kesal. Terduduk dengan setumpuk barang di pangkuannya. Henry mendelik judes. Koordi sekaligus asisten dan manajernya itu malah menjerit padanya.
“Yak apa yang kau lakukan! Cepat bangun sebentar lagi aku on air!”
Jina meniup anak poninya sebal. Kesal dengan kelakuan atasannya yang kelewat manja. Ia hampir melempar gulungan kaos kaki coklat yang sedang berada di tangannya, sayangnya ia masih sadar kalau hidupnya bergantung pada pekerjaannya. Tangannya bergerak setengah ikhlas merapikan kerah baju Henry dan memasangkan dasinya.
“Henry-ssi, ayo!”

Seorang kru memanggil Henry. Ia bangkit. Jina merapikan kerahnya lagi. Tersenyum dengan terpaksa dan mengatakan bahwa ia terlihat tampan setelah Henry bertanya bagaimana penampilannya. Jina menghembuskan nafas lega. Ia tahu penderitaannya berakhir walau hanya sementara.

Ting tong!
“Jina, buka pintunya!!” Teriak Henry dari dapur.
Jina mendengus kesal. Menutup majalah yang sedang dibukanya dan beranjak setengah menghentakkan kakinya menuju pintu apartemen Henry, membukanya. Jina menautkan alis. Tak ada siapapun disana. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa memang tidak ada siapapun disana kecuali sebuah kotak kecil dengan pita merah. Jina meraihnya lalu menimbang-nimbangnya. Mengangkat bahunya cuek lalu menutup pintu apartemen Henry dan membawa kotak kecil itu masuk.
“Siapa?” tanya Henry dingin sambil membawa mangkuk yang mengepul lalu duduk di samping Jina.
Jina menunjuk kotak kecil yang ia letakkan di meja dengan dagunya dan kembali asik dengan majalahnya. Henry berdecak sebal sambil menepuk keras permukaan majalah yang sedang Jina baca hingga majalah itu menabrak wajahnya seraya mengambil kotak kecil itu. Jina mendengus kesal. Tapi ekor matanya mengintip dari balik majalah. Ia juga penasaran apa yang ada di kotak kecil itu.
“Kenapa ngintip-ngintip? Ini, untukmu saja. Paling juga hadiah dari fans. Sudah terlalu banyak disini, menumpuk seperti sampah”
Henry meletakkan kotak kecil itu di pangkuan Jina lalu meraih mangkuk ramyunnya dan mulai menikmati isinya. Jina mengamati kotak kecil dengan pita merah tersebut. Menimang-nimang kembali dan menerka apa kira-kira isinya. Akhirnya ia menarik pita merah tersebut dan membuka tutup kotaknya.
“KYAAAAAAAAAA”

Jina mengaduk lattenya lesu. Berkali-kali melirik jam tangan, menunggu pacarnya datang. Ia masih agak shock pasca kejadian itu –kotak kecil di apartemen Henry. Ia tidak habis pikir fans macam apa yang mengirim selembar pembalut penuh darah yang masih basah pada idolanya.
“Itu namanya sasaeng fans~”
Jina hanya memasang wajah pongo mendengar penjelasan Henry saat itu. Jina bukan orang yang sudah lama berkutat dengan dunia selebritis, ia buta akan hal-hal seperti itu.
Menurutnya sasaeng fans itu hanya fans setengah gila yang terlalu terobsesi pada sang idola sehingga melakukan perbuatan-perbuatan yang kurang menyenangkan –menguntit, mengirim ‘hadiah’, menyebar foto yang seharusnya privasi sang idola-. Kata Henry, sasaeng fans itu wajar apalagi untuk artis besar dengan ribuan fans sepertinya. Dan kata Henry juga, ia sudah memprediksikan isi kotak itu sehingga ia memberi kotak itu pada Jina dan perkataan itu sukses membuat Jina menjitak kepala Henry kesal.
“Jina-ya”
Panggilan Kai, pacarnya, membuyarkan lamunannya. Kai duduk dengan wajah sedingin es di kursi hadapan Jina.
“Halo”
Jina tersenyum riang, membuatnya terlihat ratusan kali lebih manis dari biasanya. Kai menatapnya, tetap dengan ekspresi dingin.
“Kenapa senyum senyum?”
Senyum di wajah Jina memudar. Mengerejapkan matanya bingung, mencoba menerka apa yang membuat Kai-nya menjadi seperti ini, bukan Kai yang ceria, yang matanya hilang saat tersenyum, yang manis, yang selalu menyayanginya.
“Kenapa, Kai? Ada hal penting yang mau dibicarain?”
Kai mengangguk, singkat. Meletakkan beberapa lembar kertas di meja.
“Baca ini. Aku hanya ingin tahu apa pendapatmu”
Jina meraih beberapa lembar kertas yang barusan Kai letakkan. Membaca judulnya lalu terbelalak kaget.
“Udah puas selingkuhnya?”
Jina menutup mulutnya kaget. Menatap Kai tidak percaya.
“Tidak, bukan. Ini salah paham, sungguh”
Kai tersenyum miring, seolah enggan mendengar apapun perkataan yang akan Jina ucapkan. Menatap gadisnya setengah kecewa. Ia sudah menahannya terlalu lama, ia cemburu dengan Henry, selalu. Jina tidak pernah mendengarkannya, selalu lebih menuruti kemauan Henry. Kai sayang gadisnya, ia benci gadisnya yang mengkhianatinya.
“Aku gak mau lihat wajah kamu lagi. Kita putus”
Kai beranjak dari kursinya, berlalu meninggalkan Jina yang terlihat belum dapat mencerna seutuhnya apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Sebulir air menetes dari mata puppy Jina tepat setelah Kai menutup pintu kafe.

Jina berpikir keras sambil menatap lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Bagaimana mungkin artikel tentang skandalnya ada di internet. Bagaimana mungkin wajahnya yang muncul di foto shirtless Henry tersebar di Internet. Padahal Jina berani bersumpah demi apapun yang ia punya bahwa ia tidak melakukan apapun dengan Henry.
Jina mengusap matanya yang sembab menghitam, terlalu basah, terlalu banyak menangis sejak semalam. Kai-lah satu-satunya yang membuat dia merasa kuat menghadapi hidup, dan sekarang Kai pergi dengan sangat kejam tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan.
Tuk!
Henry melempar struk belanja berbentuk gumpalan itu ke arah Jina dan Jina tetap bergeming. Merasa sebal melihat wajah Jina yang kusut. Dan yang membuatnya makin sebal adalah, ia tidak tahu apapun tentang penyebab mengapa Jina menjadi seperti itu.
Henry mengunyah kripiknya. Berguling seperti kerbau di karpet. Bosan. Ia meminta Jina datang ke apartemennya untuk menemaninya –paling tidak menghilangkan sedikit rasa bosan dengan mengganggunya- tapi bukannya bosannya berkurang atau hilang malah bertambah gara-gara keadaan Jina yang membebani pikirannya
“Jin kenapa sih?” tanya Henry, untuk yang ketujuh kalinya dalam lima menit terakhir.
“Jina-ya~ yaudah deh kalau nggak mau cerita..” Henry melipat tangannya, menggembungkan pipinya dan memajukan bibirnya, merajuk.
Jina menutup wajahnya, seseunggukan. Membuat Henry bingung, memiringkan kepalanya, berpikir keras cara apa lagi yang harus ia tempuh untuk menghadapi Jina. Paling tidak, tangisannya berhenti.
“Henry-ssi, apa aku tidak cantik? Apa aku tidak menarik? Jawab!”
“a-apa?” Henry mengerejapkan matanya, kaget mendengar pertanyaan Jina. Tidak tahu apa dia harus menjawabnya dengan jujur atau menggodanya –seperti biasa.
“jawab aku! Henry-ssi, aku dan Kai putus. Kau tahu persis Kai adalah penyanggaku selama ini. Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup. Henry-ssi, bagaimana? Aku bingung. Aku benar-benar ingin Kai kembali. Ia cemburu padamu. Kami putus gara-gara ini! Aku benci kau!” Jina melempar kertas-kertas berisi berita skandal itu ke hadapan Henry, membuatnya berterbangan. Jina meraih tasnya lalu beranjak
“yaaa Jina tunggu!” Henry meraih tangan Jina, memegangnya erat. Menahannya agar tidak pergi.
“Maaf, maafkan aku, aku tidak bermaksud- aku tidak tahu kalau aku merusak hubunganmu dengan Kai. Aku benar-benar minta maaf. Jangan benci aku.. aku membutuhkanmu”
Jina menepis tangan Henry, emosinya meluap. Terduduk lesu. Menutup wajah dengan kedua tangannya. Menangis pilu. Ia benar-benar tidak bisa, Kai terlalu berarti untuknya. Mereka sudah berjalan terlampau jauh..
Henry menghembuskan nafas lesu. Mengeluh kenapa ini yang harus terjadi. Ia berjongkok di depan Jina. Mengelus lembut rambut Jina yang acak-acakan.
“Hey, tenanglah… ini bukan akhir dari segalanya, Jina-ssi. Percaya padaku”
“kau tidak tahu apa-apa tentangku!” Jina mendorong Henry menjauh. Kembali menutup wajahnya yang memerah, sembab. Henry menatapnya iba. Merangkak mendekati Jina. Duduk di hadapannya. Memegang bahu Jina, menatapnya dalam. Perlahan merengkuh kepala Jina, membiarkan jina menangis di bahunya, berharap bisa sedikit meringankan bebannya.

Jina membenarkan syal-nya. Menatap pantulan tubuhnya di cermin. Hari memang cukup panas tapi ia rasa syal berwarna hijau itu dapat mempermanis penampilannya. Hari ini ia akan pergi ke pusat kota. Memutuskan bahwa akan melupakan Kai. Henry benar, ini bukan akhir dari segalanya. Jina tersenyum kecil, merutuki kebodohannya bisa bertindak begitu melankolis di hadapan Henry.
Jina mengambil tas selempangnya lalu beranjak keluar rumah –rumah mungil di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Menyapa paman pemilik rumah itu, lalu pergi ke samping rumah untuk mengambil sepedanya.
Langkahnya terhenti. Air mukanya berubah tegang, merinding. Paman pemilik rumah itu melihatnya dengan heran, menghampirinya.
“Jina-ssi ada ap- astaga! Siapa yang berani melakukan ini!”
Jina merengut, takut. Sepeda kesayangannya, peninggalan mendiang ayahnya, dalam keadaan yang -menjijikan. Penyok di beberapa bagian dan disiram oleh semacam cairan dengan aroma yang sangat menyengat, memanggil lalat. Jina menutup hidungnya, menyingkir dari tempat itu. berpikir keras. Ia diteror?
“M-maaf paman, akan segera aku bersihkan nanti –hoek!”
Hpnya berbunyi, bergetar di saku celana jeansnya. Ia mengeluarkan hpnya setelah berada pada radius yang aman dari gangguan aroma tidak sedap itu. melihat nama Henry tertera di layar hpnya, menautkan alis. Hari ini Henry libur, tidak ada jadwal pikirnya.
“ya halo? –huek!”
Jina tidak dapat menahan rasa mualnya, mengibas- tangannya memberi udara segar untuk pernapasannya
“Yaaa Jina kau kenapa? Datang ke apartemenku dalam waktu lima belas menit!” klik- telefon diputus. Jina mengerang pelan, ingin meremukkan apapun yang ada di hadapannya.
“Paman, aku benar-benar minta maaf, bos besar memanggil –aku tidak bisa menolak, apa yang harus aku lakukan?” menempelkan telapak tangannya, memohon dengan wajah imut.
“pergilah Jina-ssi biar nanti aku suruh orang untuk membersihkan ini” paman itu tersenyum ramah, menepuk kepala Jina halus. Menganggap Jina sudah seperti anaknya sendiri.
“terima kasih paman!” tersenyum riang lalu berlari kecil menuju stasiun subway bawah tanah terdekat, tidak ingin bosnya mengomel panjang karena ia terlambat datang.
Sibuk berlari, menerobos barisan orang-orang ibu kota yang akan ke kantor dengan pakaian yang super rapi. Tidak menyadari sesuatu, suatu bayangan, melihatnya dari jauh dengan tatapan yang sangat jahat. Tersenyum kesal sekaligus sinis.

“kau terlambat 3 menit, Jina-ssi. Hebat” Henry menepuk tangannya. Jina sibuk mengatur nafasnya, menyeka peluhnya, dan ia masih juga terlambat.
“Harus bagaimana aku mengajarkanmu kalau tepat waktu itu penting-pantas saja kau tidak bisa jadi artis”
“kau itu berisik sekali! Kau yang gila menyuruhku datang, kau pikir ini jam berapa Henry-ssi! Semua angkutan penuh oleh orang yang akan kerja, mereka sangat rajin tidak sepertimu! Berkutat dengan pisau dan panci di dapur seperti orang tidak waras! Menyuruh orang seenaknya mentang mentang kau berkuasa! Dan aku memang tidak tertarik untuk menjadi artis!!”
Jina mengatur nafasnya susah payah, dadanya naik turun ngos-ngosan. Menatap Henry horor. Kekesalannya benar-benar terakumulasi pagi ini.
“ ya ya calm down tidak usah berteriak begitu suaramu sama sekali tidak mer-AMPUN!”
Jina mengacungkan flat shoesnya ke wajah Henry, melemparnya kalau saja Henry tidak menghentikan kata-katanya.
“Yaa Henry-ssi get away from my life jebal*” Jina menghela nafas lelah, menyenderkan tubuhnya di sofa. Selesai menceritakan keadaan mengenaskan sepeda kesayangannya pada Henry. Ia yakin satu juta persen kalau pelakunya adalah salah satu dari sasaeng fansnya Henry.
“kenapa fansku harus menyerangmu?” Henry memiringkan kepalanya, berfikir.
“Skandal itu!” Jina berdecak sebal. “fans gila mu pasti pelakunya. Tidak salah lagi. Mereka tidak terima aku, yang tidak pernah muncul di permukaan, tiba tiba muncul di fotomu yang shirtless. Oh Tuhan! Aku benar-benar lelah Henry-ssi. Apa yang harus aku lakukan. Operasi plastik?”
Henry menepuk-nepuk kepala Jina, pelan. Jina menoleh.
“Kumohon bertahanlah. Aku yakin kita bisa”
“oh ayolah bos, ini begitu menyeramkan. Mereka tahu rumahku. Bagaimana kalau mereka tiba-tiba menculikku dan membuangku ke pulau Galapagos atau membunuhku lalu memutilasiku menjadi dua belas bagian?”
“Jina-ya”
Jina menoleh, menatap wajah Henry yang tiba tiba aneh. Serius. Gugup. Henry menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal
“Apa?” jawab Jina, songong
“Jadilah milikku”

“Oh Tuhan, ini tidak mungkin”
Jina membalikkan tubuhnya, berguling pada kasur doublenya. Ia tidak habis pikir kenapa ia bisa menerima Henry. Keputusan yang salah. Apa yang enak menjadi pacar dari seorang Henry? Ia hanya akan terlihat imut dan polos saat berada di depan kamera –dan semua orang tahu dia adalah makhluk yang paling menyebalkan sejagat raya.
“Jadilah milikku”
Jina menatap Henry tidak percaya, mencoba mencerna apa makna dibalik perkataan Henry barusan.
“Jina, jawab~ kau mau kan? Kita pacaran! Kau menyebalkan tapi kau cantik, kau manis, kau lelet, tapi kau mengagumkan, kau lucu saat sedang kesal, lelah, meniup ponimu, aku suka padamu –kurasa. Yeah. Jadilah milikku Jina-ssi, kumohon”
“Aku tidak mau Henry-ssi, kau menyebalkan dan jahat seperti penyihir”
“aku tidak jahat! Kau salah. Aku tampan dan aku hanya ingin menggodamu, kau tahu persis akan hal itu. bukannya kau juga suka padaku? Ayo mengakulah, kalau tidak mana mungkin kau mau bekerja padaku”
“itu menjijikan Henry-ssi, tapi aku memang benar-benar suka padamu –astaga! Maksudku, tentu saja tidak, mana mungkin-“
“kita resmi pacaran, jina-ssi”
Jina menutup wajahnya yang memerah dengan bantal, percakapan itu teringat lagi, terngiang-ngiang di kepalanya. Wajah Henry berputar-putar di alam bawah sadarnya. Jina tidak ingin, sungguh, Henry menyebalkan hingga ke titik maksimal. Henry menentukan secara sepihak, mereka pacaran, itu amat sangat menyebalkan.
Ponsel Jina berbunyi, lagi westlife – My Love mengalun indah. Jina berdecak sebal – Henry mengganti ringtone panggilannya dengan lagu itu dan itu menggelikan.
“yaa” Jina menjawab malas, matanya setengah tertutup. Menguap.
“Udah tidur?” tanya Henry pelan, seperti berbisik.
“belum bodoh, aku masih bisa mengangkat telfonmu menurutmu?” jina memutar bola matanya sebal.
“Ish. Bukan itu. maksudku, kenapa? Aku mengerti kalau kau tidak bisa mengeluarkanku dari pikiranmu tapi ini sudah terlalu larut, sayang. Aku tidak ingin kau kurang tidur dan matamu menghitam seperti panda”
“kau sangat cerewet”
“Aku menyayangimu, Jina”
Jina terdiam. Mau tidak mau, bibirnya membentuk bulan sabit kecil. Senyum manis.
“Besok jam 9 aku ada jadwal –ya ampun, kau manajerku kenapa aku yang mengingatkanmu” lalu Henry tertawa kecil “jangan terlambat bangun, aku jemput besok”
“iya iyaaa, aku hapal jadwalmu nyaris di luar kepala Henry-ssi, jangan ragukan aku”
“baiklah. Aku tidur dulu”
“ya…”
Hening, tidak ada yang memutus sambungan telefon.
“Jina-ssi, aku menyayangimu” –klik. Telefon ditutup.

“Henry-ssi, ada yang ingin aku bicarakan”
Henry duduk di kursi itu. Empuk, wangi, dan sangat mahal. Tidak aneh karena saat ini ia sedang berada di ruangan paling utama di gedung ini –ruangan CEO, big boss.
“Ya, bos?”
CEO itu berdehem, sedikit melonggarkan dasinya. Menggulirkan roda di kaki kursinya mendekat ke meja.
“Kudengar, kau dan manajermu –siapa namanya?”
“Jina”
“Ya, Jina. Kalian memiliki hubungan khusus?”
Henry terdiam, berfikir kemana kira-kira parah pembicaraan ini. Ia mengangguk kecil.
“Ya, bos. Apa ada masalah dengan hal itu?”
CEO itu kembali berdehem.
“Sayang sekali. Aku sangat senang mendengarnya, selamat untuk kalian –tapi aku tidak menyangka kau akan secepat itu move on dari Stella, anakku. Kukira kalian akan kembali bersatu, tapi ternyata tidak”
“terima kasih, bos. Tapi kurasa ini memang yang terbaik, Stella adalah masa laluku”
“Tapi ini membahayakan karirmu, Henry-ssi”
Henry terdiam, lama, mencerna apa yang dikatakan bosnya. Dimana korelasinya saat ia berpacaran dengan manajernya dan itu dapat membahayakan karirnya. Jina bukanlah seorang public figure yang mencolok.
“Membahayakan, maksudmu, bos? Aku tidak berbohong kepada siapapun dan tidak menyembunyikan apapun jadi apa ada yang salah dengan hubunganku dengan manajerku?”
“Henry-ssi, aku paham sekali namamu sudah sangat di atas saat ini. Tapi bagaimanapun juga umurku sudah hampir tiga kali lipatnya umurmu dan kau tahu aku sudah menjadi CEO selama hampir separuh hidupku,” CEO itu berdehem, “Aku sangat yakin hal ini akan menimbulkan dampak yang tidak baik bagi perjalanan karirmu”
“Tapi, bos. Aku tidak melakukan apapun yang tidak wajar”
Pintu ruangan terbuka. Seorang perempuan dengan lekuk tubuh sempurna berjalan masuk. Parasnya cantik dan menunjukkan sedikit keangkuhan. Jalannya anggun seolah-olah ia sedangan berada di karpet merah dengan semua kamera tertuju padanya.
“Selamat siang, ayah. Ah, Henry. Apa aku mengganggu pembicaraan kalian?” gadis itu, Stella, tertawa kecil dan ya, tertawa dengan sangat anggun.
“Tentu tidak, sayang. Duduklah. Apa ada hal penting yang kau ingin sampaikan pada ayah?”
Henry berdehem, menginterupsi pembicaraan ayah dan anak itu
“bos, sepertinya kita lanjutkan saja pembicaraannya lain kali. Aku harus pergi, sudah ada janji” Henry beranjak
“Henry-ssi, kuharap kau pikirkan kembali perkataanku. Ingat saat ini kau sedang di atas”
Henry terdiam, mengangguk kecil, lalu pergi meninggalkan ruangan itu.

Jina membuka pintu rumahnya sambil merenggangkan badan. Meraba-raba dinding mencari saklar lampu lalu menyalakan lampunya. Menguap. Badannya rasanya ingin remuk setelah seharian menemani si manja –henry- pergi mencari kostum untuk penampilan spesialnya besok. Jina tidak habis pikir bagaimana bisa seorang laki-laki membeli baju dengan menghabiskan waktu yang begitu lama.
“Jina-ssi”
Pintu rumahnya diketuk. Jina membukanya sembari kembali menguap.
“Ah, bibi Sam. Silahkan masuk. Ada perlu apa?”
Itu Bibi Sam. Istri dari paman pemilik rumah mungil ini. Bibi Sam sangat baik ditambah perawakannya yang gembul dan sangat ramah.
“Entah apa yang terjadi, kau mendapat banyak sekali kiriman hari ini”
Bibi Sam berjalan masuk sambil menggeret karung putih. Meletakannya di samping pintu.
“ini sangat banyak, maaf karena aku memasukkannya ke tempat seperti itu. Selamat istirahat, sayang, kau terlihat sangat lelah sekali”
Jina mengangguk, tersenyum. Lalu menutup lagi pintunya setelah bibi Sam keluar dari rumahnya.
“Ya Tuhan, aku lelah dicaci~” Jina tengkurep sembarang, menempelkan wajahnya ke bantal di sofanya. Tangannya menjuntai lemas ke bawah. Ini hari keempat dia berpacaran dengan Henry dan ia merasa akan segera menyerah. Tekanan terus berdatangan dari segala arah. Ia lelah.
“Jina-ya, kumohon bertahanlah. Ini baru permulaan. Aku beharap keadaan seperti ini tidak akan berlangsung lama. Kumohon, jina-ya. Demi aku. Demi kita”
Henry membawa kedua tangan Jina kedalam genggamannya. Menatap mata Jina dalam, memohon dengan tulus. Jina menghembuskan nafasnya, mengeluh. Mana mungkin ia bisa menolak.
“Aku lelah, Henry-ssi. Aku tidak terbiasa dengan keadaan seperti ini. Aku merasa semuanya membenciku, karena kita. Aku ingin seperti dulu, Henry-ssi.”
“Sebentar saja…. aku akan menopangmu, aku janji. Kamu ngga sendiri, ini ‘kita’”
Ia bangkit, duduk di sofanya. Belum berani membuka karung berisi kiriman-kiriman itu. Pikirannya menerawang kemana-mana. Akhir-akhir ini adalah hari yang buruk untuknya. Ia merasa diawasi, diikuti. Tiga kali hampir ditabrak saat menyebrang jalan, seseorang melepas anjing yang sedang kelaparan saat ia pulang dan berada di jalan yang sepi, berkali-kali mendapat peringatan dari CEO. Meninggalkan banyak kotoran pada rumahnya, mengirim preman-preman jahat, mengurungnya di kamar mandi, mengguyurnya.
“Aku takut, Henry..” Jina menggumam pelan. Memutuskan untuk membongkar karung itu sendiri.
“Kuharap tidak ada sesuatu yang buruk di dalam sini..”
Jina sibuk mengelompokkan barang-barang yang ada di dalam karung itu. surat-surat, kotak-kotak. Bau amis tercium. Dan ia dengan pasti berfikir bahwa surat dengan darah itu pasti datang lagi.

Henry sibuk mengelus bahu Jina yang bergetar, menangis. Sejak pagi Henry sudah berada di rumah kecil Jina, menenangkan gadisnya. Ia bimbang. Ia merasa bersalah. Ia tidak ingin membuat gadisnya sedih dan tertekan, sungguh.
“Sayang.. sst, udah ya nangisnya udah..”
Jina masih menenggelamkan wajahnya di bahu bidang Henry. Sesenggukan. Membasahi sebagian kemeja yang Henry kenakan. Membuat Henry semakin yakin kalau gadisnya memang sangat tertekan.
Henry sibuk menyusun surat-surat yang dikirim dengan darah itu. serangkaian kalimat-kalimat kasar dan bernada mengancam menghiasi permukaannya. Henry masih sibuk mengusap kepala Jina, sambil menatap kertas-kertas itu dan berfikir keras. Bukan satu atau dua orang yang mengirimnya, ia yakin betul akan hal itu.
“Aku lelah, aku ingin berhenti..”
Henry menoleh, menatap Jina. Menggeleng cepat tidak terima. Mana mungkin ia mau melepas Jina.
“Aku berjanji semuanya akan baik baik saja, aku yang menjamin. Jangan sedih lagi. Sementara ini, tinggalah di apartemenku”
Jina menggeleng cepat
“Tidak mau! Orang-orang akan berfikir yang macam-macam.”
Henry menjawil hidung Jina gemas, tersenyum. Membereskan kertas-kertas itu dan barang-barang lainnya yang sangat berantakan sejak semalam. Menaruhnya kembali di dalam karung.
“Kau mau tahu apa yang ada di pikiranku sekarang?”
Jina mengangguk, mengusap kedua pipinya untuk menghapus air mata. Henry menyenderkan punggungnya di sofa, melakukan sedikit peregangan pada tangannya yang terasa pegal.
“Beri tahu aku~”
Jina ikut bersender, menaruh kepalanya di bahu Henry, siap mendengarkan apa yang akan Henry utarakan tentang pendapatnya mengenai masalah ini.
“Aku berfikir kalau kita akan hidup tenang, kedepannya” Mengusap kepala Jina lembut.
Jina mendongakkan kepalanya, melihat mata Henry.
“Bukan itu yang ingin kudengar, Henry. Aku hanya.. lelah. adakah hal yang bisa kulakukan untuk menghilangkannya. Kau tau persis apa yang aku rasakan, Henry-ssi”
Henry tersenyum kecil
“Aku tahu, sayang. Tenanglah. Kau itu pacar seorang bintang yang tampan, tahu. Tidak aneh kalau kau mendapatkan banyak teror”
“ya!” Jina menubit pinggang Henry sebal, menggerutu hingga bibirnya mengerucut.
“Aku yang akan lakukan itu.”
Jina menatap Henry aneh, penasaran. Henry hanya membalasnya dengan senyum misterius.

“Ajaib, Henry, apa yang kau lakukan?”
Jina menatap Henry kagum, sekaligus penasaran.
Sudah lebih dari dua minggu semua gangguan yang ia dapatkan hilang. Hilang sama sekali. Henry tersenyum puas, memeluk pinggang Jina dengan sayang.
“Aku sudah bilang padamu, aku bisa bereskan semuanya”
“yaaa ceritakan padaku, jangan seperti ini”
Henry tersenyum lagi, bangga. Bisa melindungi gadisnya dan menyelamatkan hubungan mereka. Semuanya terjadi begitu cepat.
“Aku baru sadar sesuatu saat melihat surat-surat itu…”
“Surat?”
Henry mengangguk mantap. Tersenyum lagi.
“Kau tahu, ada satu orang yang aku sudah hidup cukup lama bersamanya. Mantan pacarku, anaknya pak bos. Aku langsung teringat padanya saat meilhat surat-surat itu. Dan yah~ benar saja. Stella mengakui semuanya”
“Stella!”
Jina terlihat terkejut. Henry mengangguk lagi.
“Dia mengakui kalau semua ini perbuatannya dan perbuatan orang-orang suruhannya. Dia tidak menyukai hubungan kita, Jina. Dia masih sangat mengharapkanku, aku tahu aku sangat tampan tapi-“
Ucapan Henry terputus saat sebuah bantal mendarat tepat di wajahnya
“kau itu narsis sekali aku geli mendengarkan”
“tapi itu memang kenyataannya. Stella ingin kita berpisah. Dia yang meminta ayahnya untuk melarang hubungan kita. Stella bukan orang jahat, Jina. Dia cantik, dia pintar dan tinggi tidak sepertimu yang kucel dan idiot-ADUH!”
Henry menggosok kepalanya yang barusan dijitak Jina. Jina mendengus sebal.
“Aku memang tidak cantik dan tidak pintar TERUS KENAPA HAH”
Henry cengengesan geli melihat gadisnya marah. Mengacak rambutnya sayang. Merasa tidak ada orang lain yang lebih beruntung darinya, bisa membuat Jina menjadi miliknya
“Jangan sentuh aku Henry-ssi”
Henry tidak peduli, mengusap-usap kepala Jina lembut dan menyandarkannya di bahunya.
“Secantik apapun Stella, sepintar apapun dia, aku tetap hanya dapat melihatmu, Jina” Henry tersenyum “Stella hanya belum bisa menerima hubungan kita yang sekarang, ia hanya belum cukup dewasa. Dan aku tahu benar Stella memang bukan orang jahat. Kau tahu, Stella meminta ayahnya agar kita diizinkan pacaran. Dan itu tidaklah sulit. Teman-teman membantu. Jina, banyak yang sayang sama kamu.. jangan pernah merasa kalau kamu sendiri, kamu maish punya aku. Walaupun Kai pernah meninggalkanmu, ingat ada aku yang tampan yang akan memeliharamu”
“KAU TIDAK TAMPAN DAN AKU BUKAN BINATANG PELIHARAAN HENRY-SSI”
Jina menepis tangan Henry sebal. Pipinya menggembung, Henry bukanlah seseorang yang pantas ia jadikan pacar. Sangat menyebalkan dan jahat. Henry tertawa terpingkal, menarik-narik ujung rambut Jina. Betapa ia menyayangi gadisnya.
“Kamu selamanya tidak akan bisa mengingkari pesonaku”
“kau itu sangat cerewet Henry-ssi”
“Aku menjamin hal itu. Kau sangat kagum padaku, kau fansku yang sangat fanatik”
“Rasanya mual sekali mendengarnya”
“Dunia akan tahu kalau aku seorang artis unyu dan tampan memiliki pacar seorang lemot”
“oh Tuhan! Aku benar-benar merasa akan muntah sebentar lagi!”
Henry terpingkal lagi
“Aku menyayangimu, nona”
“Aku milikmu selamanya, Henry”
“Tuh kan, mana bisa kau pergi dariku. Kau harus menjadi jelek selamanya agar tak ada yang suka padamu kecuali aku”
“HENRY!”
— fin —
Cerpen Karangan: Siwonsmirk
Blog: hafizhahnuraghnia.blogspot.com

Share This!



1 komentar: