Rabu, 01 Oktober 2014
Miracle (Part 1)
Tak kusangka masih saja kudekap kedua lutut dan bertopang dagu selama 2 jam, ini benar-benar membuatku lelah. Aku hanya tak mengerti maksud dari bulir-bulir kata yang kupelajari saat ini. Haruskah kutunggu malam tiba untuk mengerti semua kata-kata yang cukup membuat semua ini terasa menjengkelkan. Sedikit membantu tawaran Jane untuk nonton saat ini, tanpa pikir panjang kulepas dekapan ini dan berlari menuruni tangga, kutemui wanita yang berstyle 35 tahunan serta rambut pirang keriting kecoklatan hanya dikucir setengah bersimpul pita yang sedang bersandar santai sambil membaca buku yang setidaknya membuat mom cukup sibuk untuk tak mengantarku.
“Apa yang kau inginkan?” tanya mom tanpa memalingkan wajahnya, aku hanya mendesah panjang -memberi isyarat agar memalingkan wajahnya kiranya hanya 10 cm dari buku- mom memalingkan wajah dan mengusap rambutku yang cukup berantakan,
“Kenapa kau selalu begitu? Tak bisakah dengan cara lain?” mom terus bertanya,
“Kau tau mom? Di sini benar-benar mencekam untuk belajar, aku hanya…” kataku sembari berkedip, kurasa itu termasuk cara jitu agar aku dibiarkan pergi,
“Yeah? Lalu apa? Ku tebak kau ingin menonton dengan Jane dan Jessie?” kata mom, aku mengangguk lemas sambil tersenyum dan menatap paras wajah wanita cantik di hadapanku,
“Mom tak perlu mengantarku, aku akan pergi dengan Gren —supir keluarga” aku berusaha meyakinkan, air mukanya tak terlalu meyakinkan untuk bilang ‘ya’ baiklah selang beberapa detik mom mengangguk setuju,
“Pintu tutup saat makan malam” kata mom sambil membuka buku yang tadi dibacanya kemudian sibuk membaca.
Singkatnya aku sudah bersama Jane dan Jessie di antrian tiket ‘Catching Fire’ aku benar-benar banyak bicara dan tak bisa berhenti, kurasa mereka berdua tak terlalu keberatan untuk mendengarkanku. Sampai akhirnya giliran kami untuk membeli tiket bibirku tak henti-hentinya bergerak. Dari kejauhan seperti ada suara memanggilku dengan keras, “Jenny” darimana sumber suara itu berasal? Kemudian terdengar lagi dan terus-menerus sampai 3 kali. Terlihat sosok cantik, bersepatu high-heels bercelana pendek diatas lutut berbaju merah muda tak berlengan, dan rambut pirang pucat dibiarkan terurai lembut -aku hanya mengkoreksinya dari bawah- Anne. Anne melambaikan tangannya penuh semangat. Dia berjalan cepat menghampiri kami yang hampir memesan seember popcorn.
Tak lama, seorang laki-laki tinggi, berkulit putih cerah berparas tampan dan wajahnya tak asing bagiku. Aku tercengang, itu Richard. Lelaki berumur 16 tahun yang kusuka sejak aku duduk di bangku kelas 7. Tak ada yang tahu hal ini kecuali Jane dan Jessie. Richard langsung merangkul Anne dan memeluknya di depan mataku, benar-benar mengiris hati. Berusaha kututupi sedikit cemburu yang membuat air mukaku berubah drastis. Tapi kurasa mereka sedikit menyadari ada yang berbeda denganku.
“Kenapa kau tak mengerti?” bisikku pelan, berharap tak ada yang mendengarku,
“Aku mengerti Jenny!” sial Jessie mendengarnya,
“Anne, sepertinya kami harus pergi untuk mengisi perut Jenny, dia tak tahan lapar” kata Jane menyelamatkanku,
“Kalian memang sahabatku!” bisikku kepada Jane dan Jessie
Kami tak pergi makan atau ke restoran melainkan kami memilih ke kamar mandi, karena ku yakin mereka tahu aku banyak membendung air mata yang beberapa detik lagi akan meledak. Aku masih tak percaya sekaligus tak suka dengan hubungan Anne dan Richard. Kisah cinta wanita – aku di usia 16 tahun ini sungguh benar-benar membuatku kesal dan putus asa. Rasanya seperti terjangan ombak, sengatan listrik dari petir dan masuk dalam lautan api tanpa dasar, buruk sekali. Mungkin lebih buruk dari kata ‘buruk sekali’. Aku merasa terperosok di jurang tanpa dasar. Aku terisak. Tapi semakin lama aku merasa terperosok dan terus terisak sampai dadaku sakit tertekan, aku semakin kehilangan diriku sendiri.
Ku buka pintu kamar mandi tanpa ragu, menyeka air mata, mencuci mata, dan menggandeng kedua temanku untuk keluar dari kamar mandi. Kami putuskan untuk cepat membeli popcorn dan minum kemudian masuk pada theatre 2 secepatnya, karena pemberitahuan pintu theatre 2 telah dibuka sudah berkumandang keras.
Selama menonton aku tak bisa tenang. Sejujurnya aku benar-benar terusik akan kejadian tadi. Terus berputar-putar di kepalaku tak henti-hentinya membuatku pusing. Kunikmati saja film yang sejujurnya juga tak nyaman.
Berakhirlah film dan aku berharap pemandangan terus baik, tanpa Anne dan Richard. Tak lama seseorang memanggilku dalam telephone, Mom? Apakah aku melanggar salah satu peraturannya? Kurasa jam makan malam juga masih 2 jam selanjutnya. Okay aku angkat.
“Jenny, mom sekarang di salon tempat seperti biasa, pergilah ke sini!” suara mom terlihat santai sekali,
“Tidak bisakah kau menunggu mom?” tanyaku lemas,
“No! Apa salahnya hanya berjalan 1,5 km Jenny Margaretha?” suara mom meninggi, jika sudah begini, aku tak bisa berkutik macam-macam,
“Baiklah aku ke sana” semakin buruk saja hariku, aku hanya melemas dan mematikan sambungan telephone.
Aku pergi kembali ke lantai 1 dan keluar menuju jalanan yang ramai. Tak kusangka aku harus berjalan 1,5 km sendirian, tiada teman bicara. Apakah itu serius? Ku lakukan tanpa teman yang mendampingiku.
Baiklah, aku sangat lelah dan air minum yang kubawa habis. Di sekeliling hanya ada keramaian, tak ada toko yang menjual air minum. Terlintas ide untuk pergi ke taman dan kurasa tak apa, karena mom akan menghabiskan waktu lama di salon itu. Aku termenung di bangku yang cukup panjang ukurannya untukku. Seorang lelaki tampan, dengan kemeja hitam dan berkerah tinggi menghampiriku. Sepertinya lelaki itu sebaya denganku. Dia tersenyum padaku, sangat tampan, kemudian duduk dan memasang raut muka takut,
“Kau tak apa?”
“Tak begitu baik, aku tersesat”
“Mungkin aku dapat membantumu, aku kenal tempat ini seperti diriku sendiri”
“Baiklah, kau tau bougenville hotels? Aku baru pertama pergi ke California”
“Mudah saja, tak begitu jauh dari sini, aku akan mengantarmu. Tapi sebelum itu, bolehkah ku tahu namamu dan asalmu?”
“Tentu, aku As.. Aster, aku berasal dari Perancis. Kalau kau?”
“Aku Jenny, apakah ada di rumahmu?”
“Ya, apabila ayah dan ibuku mempunyai waktu luang berada di rumah. Baiklah mari bergegas!”
Ranselnya terus mengeluarkan suara yang sedikit menggangguku, bagaimana ku bisa tak peduli suara berisik itu? tapi karena suara itu, aku penasaran dengan isi di dalamnya, entah perlu atau tidak. Ah sudahlah. Kami mulai tak canggung untuk saling bicara. Kami bicara banyak hal di perjalanan yang cukup jauh ini, sangat banyak. Entah aku merasa nyaman saja di dekatnya. Rasanya juga tak karuan, girang maupun takut juga nyaman. Tatapannya selalu membuatku berpaling ke arah lain. Aku tak sanggup melihat mata biru yang besar dengan tajam. Tatapannya tajam namun halus, dan selalu menatap lekat-lekat. Siapa yang tak takut dengan hal seperti itu. Kurasa dia tampan dan sangat perhatian kepada perempuan, benar-benar polos juga. Tiba-tiba aku mulai berfikir tentang Richard dan Anne. Kedua hantu pikiran itu tak bisa lenyap dari hidupku sekarang. Tidak hanya dengan Anne aku melihatnya bergandengan roman. Saat itu aku tak ragu untuk menjauhkan diri dari Marrie secepat aku bisa saat tahu Richard berkencan dengannya, lagipula Marrie memang menyebalkan, dia selalu membuatku terpaksa melakukan sesuatu yang tak perlu sampai aku harus dihukum oleh mr. Grill saat pelajaran musik kesukaanku. Juga saat pelajaran olahraga oleh mr.Ken, aku juga harus berlari 10 putaran memutari lapanngan yang benarlah luas.
Kami mudah akrab hanya dalam hitungan menit. Tak kusangka dia anak yang asik diajak bicara. Aku benar-benar terkejut saat dia bertanya hal yang seharusnya tidak penting untuk ditanyakan.
“Sebagian orang tidak suka tak mempunyai status yang jelas dalam hal cinta. Apakah benar untukmu juga? Atau kau punya seorang lelaki yang mempunyai status bersamamu?” tanyanya dengan santai.
“Apakah kau serius? Pertanyaan bodoh hahahahaha” aku terkekeh, dan berharap dia tak bertanya demikian lagi.
“Apakah aku tampak bercanda?” geraknya tetap santai, namun suaranya sedikit meninggi.
“Kau hanya ingin mencari teman yang bernasib serupa ya, kan?” aku masih terkekeh.
“Ya sebagian besar begitu, namun aku hanya lebih suka tak memiliki status begitu” bagaimana bisa aku tak menghindarinya kali ini kalau dia terus menatapku dengan tatapan tajamnya.
“Ya aku juga begitu, bahkan untuk memiliki status begitu kurasa tak mudah” aku agak kurang waras beranggapan demikian. Mungkin aku akan menanggung masa remajaku dengan tekanan batin yang mengatakan lelaki tak ada yang menyukaiku.
“Benarkah? Kurasa kau bisa dibilang cute” pernyataan itu membuatku cukup menghentikan waktu yang berjalan. Aku berusaha menjauhkan pikiranku terhadapnya yang bicara begitu. Ah… kenapa dia tega membuatku semakin redup? Mungkin dia hanya ingin membuatku berhenti gusar.
“Kau hanya ingin membuatku bahagia kan?” otakku semakin aneh saja. Tak percaya aku bisa melontarkan kata seperti itu.
“Tidak juga, hanya aku berkata benar, kenapa? Kau senang? Syukurlah” bisakah dia berhenti menekanku dengan 2 perkataan yang membuatku melambung tanpa arah, tanpa tujuan. Tidakkah dia mengerti aku tak ingin memikirkan tentang cinta. Hal itu benar-benar membuatku bingung.
Kami melanjutkan perbincangan yang sedikitnya tidak ada pokok pembicaraan yang tepat. Rasanya sudah lama kami berjalan ternyata hanya 10 blok tempat kita meninggalkan taman. Seorang anak kecil bertubuh kurus berjaket merah marun dengan celana pendek coklat kusam, juga kucir yang tak rapi, membawa sekotak besar camilan coklat manis yang tampak lezat. Kami berdua berpandangan sebentar kemudian Aster berlari mengejar anak tadi, aku yang hanya berusaha mengaliri suasana dengan hal yang tenang-tenang saja tak begitu berjalan baik. Tanpa pikir panjang aku berlari mengikuti Aster, sambil tersenyum lebar. Aster kembali dengan 2 kotak coklat manis. Ah senyuman itu lagi, kenapa aku selalu tak bisa berhenti tenang jika Aster sudah mulai senyumnya yang membuatku terpaku tanpa berfikir apapun yang logis.
Aku masih terpaku tanpa gerakan sedikitpun. Aster memberikanku sekotak coklat itu. Dia pikir itu akan membuatku bergerak lagi. Tapi selama dia tersenyum aku akan terpaku begini. Gelora untuk bergerak tidak kurasakan saat ini, bahkan Aster menyenggolku agar aku bergerak atau sekadar berguling di tanah. Aku hanya mengangguk dan berterimakasih. Sebuah coklat manis bulat masuk dalam mulut hangatku, musim panas kedua ini benarlah panas. Coklat kedua akan kunikmati lebih lembut, tapi hal apa aku tersungkur ke depan, pandanganku mengunang, dan …
Bagaimana ini terjadi? helaian awan mengeliliku kemudian berputar-putar sempurna. Aku mulai berfikir bahwa surga telah kupijaki, dan aku akan hidup di sini. Tapi kenapa aku masih merasa sakit pada bagian kepala. Hempasan angin yang menerpa rambutku dirasa cukup panas. Sungguh aku masih bisa merasakan rasa sakit pada pinggulku juga punggungku. Aku memilih untuk berbaring di tempat yang sebenarnya surga atau bukan entahlah. Tiada siapapun di tempat ini, tidak juga sebuah benda kecil atau apapun yang bisa memberi jaminan tempat apakah ini. Aku kembali tak sadarkan diri.
Goncangan ini membuatku terguling ke samping. Kepalaku pusing sekali, entah karena aku dipukul dengan benda sekuat apa atau memang aku migrain. Itu tidak penting. Hanya saja kali ini aku berada di mana? Aku berusaha mencari petunjuk aku di mana. Benda ini berjalan, namun gelap, juga banyak barang-barang yang mengeliliku bak mengadiliku mengapa aku di sini? aku tak yakin bahwa ini mobil van atau pick-up dengan tenda di baknya. Tiada hal yang kupikirkan kecuali Aster, pasti dialah penyebab ini. Dia adalah orang jahat yang mengelabuhiku dan menculikku. Rasanya aku ingin mencekiknya sampai mati, apa maksudnya, dia telah membuatku menyukainya ataupun tatapannya juga senyumnya. Barang-barang tak jauh dari tempat aku duduk terkujur bergerak-gerak, kepala Aster muncul tak lama setelah itu. Kuarahkan kedua tanganku yang hendak mencengkramnya, aku mencekiknya sebelum nyawanya pulih total. Aku sedang gila atau apa aku mencekiknya sampai dia memukul-mukul wajahku, aku mendadak stress sendiri. Aku mencengkram wajahku sendiri, Aster berusaha melepaskannya dan menggenggam tanganku erat-erat.
“Penghianat!” kataku terus berteriak kasar.
“Apa? Pertama, bagaimana kau bisa berkata begitu kalau aku tidak tahu kita dimana? Kedua, kau gila!” ya, dia benar, aku gila. Bahkan lebih dari gila untuk menuduh orang, dan mencekik laki-laki yang berusaha membantuku. Aku terdiam dan mencoba tenang. Aster memindahkan tanganku ke dekapan yang lebih hangat. Aku tak menyangka akan sehangat dan setegang ini. Dan aku juga meringkup dalam hangat yang sangat nyaman ini. Aku baru pertama merasakan pelukan lelaki sehangat ini selain Papa. Bahkan kakek sendiri tidak senyaman ini. Rasanya seperti hanya ada kami saja di sini, nyatanya hal itu benar. Dengan lembut Aster melepasnya, sembari berkata, “Kita akan baik-baik saja” aku mengangguk dan mendekap kedua kakiku untuk ke sekian kalinya. Aku berharap di antara kami menganggap persoalan tadi kunjung surut ditelan ombak kegelapan. Aster berbisik padaku agar aku berjalan menuju ke arahnya.
Aster sudah gila bila dia berfikir untuk melompat dalam keadaan benda ini bergerak dengan kecepatan rata-rata 80km/jam. Ah dia memang benar-benar anak lelaki yang beruntung. Hamparan luas rerumputan tinggi mengundang gejolakku untuk mendukungnya. Aku mengangguk meski aku tak percaya harus melakukannya. Tangannya meraba ke punggungnya dan kemudian menghembuskan nafas panjang yang nampak sangat lega, aku ikut meraba punggungku dan berharap tas punggung yang sedaritadi ku bawa masih ada. Aku girang karena aku masih bisa merasakan tas biru muda yang ku dapat di salah satu pusat belanja mewah di Singapore. Aku tak menyangka Aster menarik lenganku saat aku masih bersiap, aku berteriak seakan jika sudah begitu dunia akan kembali seperti semula. Aku jatuh berguling-guling, pikiran bahwa sebentar lagi seseorang akan menemukan kami dalam keadaan gila dan kami akan selalu membutuhkan morfin di tidur kami menghantuiku. Kepalaku bertambah kacau saja, tapi aku harus mencari Aster. Dimana anak itu? rumput tinggi ini semakin membuatku susah melihat. Aku terus memanggilnya, lagi-lagi kepalanya tiba-tiba muncul di tempat berjarak 1 meter ke timur dari tempat aku duduk. Kali ini ada kesempatan untuknya mengumpulkan nyawa. Aku tak memberontaknya lagi, aku mengelus pundaknya entah mengapa aku bisa lebih aneh dari biasanya. Dia menoleh dan tersenyum, senyuman manis yang selalu membuatku terpaku, “Kau tak apa?” dari suaranya sebenarnya dialah yang harusnya menghawatirkan dirinya sendiri. Aku mengangguk, “Kau benar-benar gila!” kataku sembari tertawa.
Aku baru bisa berfikir logis sekarang, nyatanya 2 fakta yang sedang kugenggam masih tak dapat kupercayai. Antara kami sedang berada di mana? Dan masih pukul 8 pagi. Apa yang terjadi sebenarnya? Aku mengeluarkan telephone yang kubawa kemudian melihat di mana kita sebelum battery-nya habis dan menelpon mom. Italia! Ini gila, bagaimana bisa kami berada di Italia dan perjalanan sudah menghabiskan waktu 1 hari. Aku berusaha menelpon mom. Sial, di luar jangkauan. Secepatnya kami harus mencari pusat kota atau kehidupan manusia agar dapat meminta bantuan. Aku terus melihat GPS yang mengarahkan kami ke kota Roma tapi sialnya lagi battery telephone-ku habis. Untungnya aku mengingat jalannya, hanya 1 mil dari sini.
Kami kembali menyusuri jalanan yang sepi, daripada harus menanggung resiko bertemu kawanan ular, lebih baik melewati jalan berbatu yang sepi. Aster terus mendengus di antara perbincangan kami.
“Andai saat itu aku tak berkeinginan untuk bebas.” Katanya dengan penuh sesal.
“Apa? Apa maksudmu?”
“Begini, hal ini akan membuatmu meninggalkanku.”
“Hahaha apa kau bercanda? Apa kau pikir aku sejahat itu?” aku tertawa lepas, untuk meredupkan rasa tegang di antara kami.
“Berjanjilah!” serunya dengan air muka tegang.
Aku mengangguk setuju.
“Aku pangeran dari kerajaan Inggris. Setiap hari di hariku hanya ada larangan ini itu, perintah ini itu, walaupun aku dimanjakan namun tetap hal itu menekanku. Aku ingin bebas seperti banyak orang kebanyakan. Aku menyusun rencana, aku mengatakan pada kedua orangtuaku, saat sorotan kamera padaku aku memakai wigs agar rambutku berwarna hitam dan memakai make-up lebih tebal dengan alasan agar aku nampak lebih tampan. Kedua orangtuaku menyetujuinya tanpa berfikir aku mempunyai alasan lain. Mereka bilang memang bangsawan seharusnya berfikir sepertiku. Hal itu sudah berjalan lama, mungkin 1 tahun atau 2 tahun, sampai semua orang lupa bagaimana aku yang asli. Suatu hari seperti biasa jamuan makan malam mewah berjalan membosankan, lebihnya aku tak mempunyai semangat menyeduh ataupun menyantap makanan kecil di meja karena aku akan dijodohkan oleh putri dari kerajaan yang cukup jauh dan dia hadir di jamuan makan malam itu. Aku tak inginkan semua keputusan kedua orangtuaku saat itu. Tapi, malam itu adalah kesempatan bagus untuk bebas, semua orang sibuk mempersiapkan perjodohanku. Para prajurit yang berjaga di pintu belakang pergi ke ruang tengah dan ikut dalam kesengsaraan itu. Dengan mudah, aku keluar dan memesan tiket pesawat menuju California untuk bertemu sahabatku sewaktu aku masih kecil. Sebenarnya dia hanya anak dari salah satu pelayanku, namun hal itu tak mengusikku sama sekali, sesampainya di sini aku mendapati makamnya yang bunganya masih segar. Aku jarang sekali pergi ke luar istana apalagi ke luar negeri. Penginapan Bougenville yang sederhana kurasa cukup untuk beberapa hari, aku menelusuri California dan bertemu dengan kau. Namaku adalah Antonio Sebastian Terfomio. Kau harus tetap memanggilku Aster” Katanya bersungut-sungut. Aku hanya terdiam, aku sangat kecewa, ingin sekali ku hempaskan genggaman tangan ini ke wajahnya. Aku menarik nafas panjang kemudian tersenyum kecut.
Cerpen Karangan: Fatimah Rizqi Salam. H
Facebook: fatimah rizqi salam herawan
Share This!
Label:
Remaja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar