Rabu, 01 Oktober 2014
Bahasa Kami Berdua
Metias.
Nama yang menurutku agak aneh. Biasanya, namanya ditulis sebagai “Matias”, atau disebut sebagai “Matius”. Yang jelas, Metias bukan nama yang sering kudengar.
Metias melangkahkan kakinya memasuki kelas kami. Lalu ia duduk di sebelahku, di sudut kelas tempat kami berbagi meja selama beberapa bulan ini.
“Hai,” sapanya singkat.
Aku membalasnya dengan senyuman hangat. “Hai,” Sapaku padanya.
Lalu kami pun melanjutkan hari dengan berbagi keheningan, dengan lengan kami yang sesekali saling bersentuhan, dan dengan debar cepat jantungku yang kuharap tidak terdengar.
—
“Sa, lo nggak pernah ngomong ya, sama Metias?” tanya Reina ketika kami sedang berjalan berdampingan menuju kantin sekolah.
“Pernah, kok.” Jawabku singkat.
Setelah mendengar jawabanku, Reina menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. “Hati-hati, Sa. Kalo gue perhatiin, kayaknya anak itu freak, deh.” Katanya dengan nada memperingatkan.
“Freak gimana sih, Re?” tanyaku penasaran. Karena menurutku, ‘freak’ bukan kata yang tepat untuk menggambarkan teman sebangkuku itu.
Reina mengangkat bahu. “Yah… aneh aja. Lo tahu, lah. Dia kan nggak pernah berbaur sama siapa-siapa. Sama cowok-cowok aja nggak pernah ngumpul.”
Mendengar pernyataan Reina, tanpa sadar aku tersenyum.
“Kenapa lo senyum-senyum sendiri?” tanya Reina curiga ketika melihat senyumanku yang muncul di saat yang tak lazim. Aku menggeleng sambil menahan senyum.
“Sa, lo kesambet, ya?” tanya Reina sambil mengulurkan tangan untuk meraba keningku.
Aku menepis tangannya halus, lalu menggeleng lagi. “Nggak, Re. Cuma lucu aja.” Kataku.
Reina mengerutkan kening saat mendengarnya. “Apa yang lucu, sih?” tanyanya penasaran.
Aku menggeleng lagi untuk yang kesekian kalinya. “Lo nggak tahu, sih.” Kataku, membuat Reina semakin penasaran.
Ada satu hal tentang Metias yang tidak diketahui orang-orang. Satu hal yang hanya kami bagi berdua yang tau.
—
“Met, tolong ambilin pensil gue, dong.” Pintaku kepada Metias yang sedang sibuk mencatat pelajaran. Pensilku terjatuh di dekat kakinya, terlalu jauh untuk kuraih sendiri.
Metias menghentikan kegiatannya, lalu menunduk untuk mencari pensilku yang terjatuh di lantai. Aku memerhatikan lekuk-lekuk punggungnya yang terlihat liat dibalik seragam putihnya. Dua detik kemudian, Metias sudah menyodorkan pensil itu kepadaku. “Nih,” ujarnya.
Aku menjulurkan tangan untuk menerima pensil itu. “Makasih, ya.” Ujarku sembari dengan sengaja menyentuhkan jari-jariku dengan jari-jarinya yang panjang. Awalnya, dia agak terkejut karena kontak fisik kami. Tapi akhirnya, kami melakukan kontak itu selama hampir satu menit.
‘Kata orang-orang lo freak.’ Laporku padanya. Aku menunggu untuk melihat perubahan ekspresi di wajahnya.
‘Gue?’ tanyanya cuek. Ekspresi wajahnya tidak berubah.
‘Iya, elo Met. Karena lo nggak berbaur.’
‘Biarin aja.’
‘Tapi gue nggak bisa.’
‘Dan gue nggak bisa berbaur. There’s nothing we can do about it.’
‘Terserah, sih. Takutnya sih mereka curiga sama kita.’
‘Mana mungkin. Gue kan bisa denger mereka. Gue tahu mereka semua mikir apa.’
‘Yakin?’
‘Yakin.’
Aku melepaskan tanganku dari tangan Metias dan kembali menekuni catatan kimiaku.
—
“Sa, lo pacaran sama Metias, ya?” tanya Reina heboh ketika kami sedang mencuci tangan di toilet. Aku tertegun sebentar.
“Kok lo nanya gitu?” tanyaku berusaha santai.
“Karena kemarin gue lihat lo pegangan tangan sama Metias. Di kelas.” Jawabnya tanpa mengurangi kadar heboh di intonasi suaranya. Gila, anak ini teliti banget.
“Oh kemarin, ya? Iya, sih. Kita emang lagi deket…”
“Saaa… dia kan freak!” kata Reina memotong omonganku dengan frustasi.
Aku senyum sendiri lagi. “Nggak kok, Re. Dia baik.”
Mendengar itu, Reina mengerutkan keningnya. “Terserah lo deh, Sa.” Kata Reina sambil geleng-geleng kepala. “Dia nggak punya temen, Sa. Gue cuma takut dia psikopat.”
Dalam hati, aku tersenyum prihatin. Anak ini terlalu sering menonton film thriller. ‘Ada banyak hal yang nggak pernah lo tahu, Re,’ batinku. Lalu aku meninggalkan Reina di toilet dan berjalan menuju kelas.
Jam pelajaran Sejarah di kelas kami. Metias masih duduk di sebelahku. Kami duduk dalam keheningan. Lengan kami saling bersentuhan.
‘Aduh, gue bosen banget!’ Kata Metias keras. Tentu saja, tidak ada yang bisa mendengarnya selain aku.
‘Sama, Met.’ Ujarku menyetujui.
‘Untung aja ada lo.’ Kata Metias. Mendengar itu, tanpa bisa kucegah lagi wajahku langsung memanas. Aku yakin warnanya pasti merah. Aku berdeham.
‘Tadi Reina heboh banget, Met.’ Kataku mengalihkan pembicaraan.
‘Iya, gue tahu. Gue bisa denger dia, kok.’ Jawab Metias santai.
‘Iya, ya. Kenapa gue selalu lupa, sih?’
‘Nggak apa-apa, kali.’
‘Gue cuma takut mereka tahu.’
‘Nggak bakal.’
‘Reina aja curiga kita pacaran.’
‘Kalo gitu kita pacaran beneran aja.’ Ujar Metias santai.
‘Hah?’ Aku melongo menatap Metias. Apa aku salah dengar? Aku tidak yakin dia serius.
‘Lo mau nggak jadi pacar gue? Ini suara hati gue, loh.’ Katanya sekali lagi. Aku termenung sebentar, sebelum akhirnya tersenyum karena mendengar kata-kata ‘suara hati’.
‘Oke.’ Jawabku sama entengnya dengan pernyataan cintanya.
Metias menaikkan sebelah alisnya. ‘Cuma oke?’ Tanyanya.
‘Iya. Gue tahu itu suara hati lo. Konyol banget, sih.’
Lalu Metias tersenyum. Sentuhan lengan kami kini menjadi genggaman tangan.
“Sa, gaya pacaran lo kok aneh banget, sih?” tanya Reina dengan ekspresi ingin tahu. Anak satu ini memang kepo.
“Aneh apaan sih, Re?”
“Kok lo berdua cuma lirik-lirikan sepanjang waktu, sih? Ngomong nggak, nulis-nulis juga nggak. Lo pake telepati, ya?”
Aku tersenyum (lagi). Kali ini aku tidak akan memedulikan komentar Reina. Biarkan saja anak ini menebak-nebak.
—
Metias.
Nama yang menurutku agak aneh. Biasanya, namanya ditulis sebagai “Matias”, atau disebut sebagai “Matius”. Yang jelas, Metias bukan nama yang sering kudengar.
Metias melangkahkan kakinya memasuki kelas kami. Lalu ia duduk di sebelahku, di sudut kelas tempat kami berbagi meja selama beberapa bulan ini.
“Hai,” Sapanya singkat disertai senyum hangat. Senyuman yang dalam beberapa minggu ini sering ia perlihatkan padaku. Senyuman yang membuat matanya terlihat lebih bersinar. Senyuman yang membuat jantungku berdebar-debar.
Aku membalasnya dengan senyuman yang sama hangatnya. “Hai,” Sapaku padanya.
Lalu kami pun melanjutkan hari dengan berbagi keheningan, dengan jari-jari kami yang saling bertautan di bawah meja, dan dengan iringan debaran jantung kami berdua.
Untuk seterusnya, aku ingin kami tetap sama. Berbicara tanpa suara, dan berkomunikasi tanpa bahasa. Hanya kami berdua.
Cerpen Karangan: Nadia
Blog: fufunna.blogspot.com
Facebook: https://www.facebook.com/nadia.fu.96
Share This!
Label:
Remaja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
baguus
BalasHapusceritanya sangaaat keren !
BalasHapus