Kamis, 05 Maret 2015

CiamisMart Is The Best



Mengenal Ciamismart
Read More

Rabu, 01 Oktober 2014

Miracle (Part 2)


Dia masih berusaha melontarkan banyak kata maaf padaku, tapi entah hatiku masih beku untuk menerimanya kembali. Bukan sebuah masalah perjodohan yang sedang ku perdebatkan dengan hatiku sendiri. Tatanan kebohongan yang sedikitnya merusak hatiku, aku hanya berfikir bahwa tak mungkin ada sebuah perasaan manis pada putra bangsawan terkenal dari Inggris. Bodoh jika aku memimpikannya dan sedari kemarin tak menyadarinya. Aku bahkan bukan anak orang yang benar-benar terpandang. Aku tidak bisa berfikir jernih nyatanya hal ini terus menggusarkan diriku sendiri. Kurasa aku harus memaafkannya kurasa juga tidak. Hal yang sepele tidak harus terlalu membuatku sepanik ini. Terjangan angin topan tak dapat kuhadapi semudah mencabut rumput liar di halaman belakang rumah. Apa resiko yang akan kudapatkan setelah ini? Apakah ternyata Jane dan Jessie adalah putri juga? Apakah ternyata Marrie lah putri yang akan dijodohkan dengan pangeran ini? Baiklah kini dia kumaafkan.
Walaupun di antara kami masih ada kegusaran yang amat-amat erat tapi kami masih tak canggung untuk saling bicara. Kali ini aku akan membulatkan niatku untuk bersikap seperti biasa. Walau sebenarnya aku telah terperosok jurang tanpa dasar yang mendesakku untuk mati, “Menurutmu apa yang mereka incar?” tanyaku masih sedikit ragu, “Kurasa mereka mengincar ini” katanya sembari menarik kalung yang selama ini tersembunyi di kerahnya yang tinggi, sekilas dari yang kulihat kalung itu berbandul liontin bundar mengkilap. Aster membuka liontin itu dan menunjukkan isinya padaku, “Ini berlian pewaris tahta kerajaan, berlian ini sangatlah berharga, harganya sepertiga tanah Inggris. Berlian ini adalah bukti kekuasaan. Pewaris tahta dan Raja dari kerajaan pasti memiliki ini kemudian akan terus diwariskan oleh cucunya.” Aku mengangguk, memang benar berlian ini nampak sangat berharga dan cantik, “Jadi kurasa mereka tahu kau ini pangeran. Tapi untuk apa Italia?” tanyaku, “Aku tak tahu pasti hanya saja itu tak penting.” Ya dia benar lagi, yang penting sekarang bagaimana kita pulang.
Aku memeriksa dompetku dan syukurlah masih ada cukup uang untuk makan dan naik pesawat menuju California. Ah cerobohnya aku, mata uang Italia dan mata uang Amerika berbeda. Dan aku yakin atm ku telah di blokir karena perkiraan mom dan dad aku diculik dan semua hartaku diambil. Pasti Inggris juga sedang heboh kehilangan pangeran kecil cerdik mereka. Mungkin berita ini telah beredar hampir di seluruh dunia.
Dari kejauhan nampak kerumunan pejalan kaki menuju ke arah yang sama dengan kami. Jalan menjadi beraspal, lampu jalan mulai terlihat saat kita berbelok ke kanan. Jalan raya sangat ramai. Jalan yang tak panas juga tak dingin, standart saja. Apakah ini adalah Roma? Bayangan Colosseum yang mengerikan. Aster berfikir mungkin dengan bahasa inggris kita bisa bicara pada orang-orang di sini, ternyata benar. Seorang pemuda yang kami tanyai mengerti apa yang kami katakan bahkan pemuda itu menyangka Aster adalah pangeran Inggris itu. Memang tepat, tapi dengan cepat aku membelanya dan mengatakan itu hanya tuduhan semata. Aster mendekatkan wajahnya padaku dan berterimakasih. Kemudian tersenyum dengan senyuman manisnya. Oh… kurasa aku terbang lagi. Aster mengajakku pergi ke toko perhiasan.
“Untuk apa kemari? Jangan berfikir kau akan menjual berlian itu?” tanyaku tegang. Aster tertawa pelan, “Apa menurutmu begitu? Memang berlian tapi bukan yang itu.” jawabnya sembari mengeluarkan sekotak kecil berisi 2 berlian, “Inilah cara agar aku tetap hidup di negara orang.” katanya sambil berbisik. Ternyata suara berisik yang berasal dari tasnya adalah berlian, lantas saja suaranya sangat mengganggu. Aku menggelengkan kepalaku sambil tertawa pelan. Cerdik benar pangeran kecil ini.
Aster memberikan 1 berlian itu pada pemilik toko. Pemilik toko itu mengerutkan dahi, “Berlian langka dari Inggris?” tanyanya pada kami, “Tentu” jawab Aster. Pemilik toko kegirangan, dia memberi kami amplop besar berisi uang. Dengan cepat kami keluar dan bersikap normal agar tidak ada yang curiga.
Kami menuju restoran Pizza, Pizza Italia benar-benar nikmat. Kami makan ditemani suasana nyaman Italia, juga musik khasnya.
“Aku baru pertama kali ke Italia.” ucapku sambil mengambil telephone untuk diisi battery-nya, “Aku pun begitu, bagaimana jika sempatkan ke Colosseum!” kata Aster girang. Aku berfikir sejenak, ada benarnya juga menyempatkan ke Colosseum dan menonton Gladiator. Lagipula uang tadi benar-benar banyak. Setelah perut dan battery telephone kami terisi penuh kami beranjak menuju jalanan yang ramai dan menyenangkan. Kami menghampiri seorang ibu dengan anaknya di dalam kereta dorong, “Madam, permisi dimana letak Colosseum melalui jalan terdekat?” tanyaku, “Berjalanlah ke Utara di sana terdapat halte!” jawabnya dengan ramah, “Terima kasih madam.”
Aster berlari dan menggandeng tanganku kemudian melepaskannya tepat di bawah pohon teduh. Dia memintaku untuk berpose layaknya model, tawaran itu tak dapat kuhindari. Dia mengeluarkan telephone genggamnya dan memotretku beberapa kali. Sekarang aku memintanya bergiliran, aku memotretnya dengan beberapa pose. Hampir saja aku tak bergerak saat akan menekan tombol potret di telephone genggamku. Aku, memotret pangeran Inggris, beberapa kali. Rasanya aku melayang tinggi, apakah teman-temanku akan percaya bahwa aku benar berjalan bersama pangeran Inggris? Kurasa tidak. Aster berdiri di sebelahku dan mengacungkan telephone genggamnya ke depan, kameranya menghadap wajah kami, dia tersenyum manis, aku juga akan tersenyum manis. Aku ikut mengacungkan telephone genggamku dan memotret kami berdua beberapa kali. Kami melanjutkan berlari menuju halte dan menunggu bus kota yang akan menuju Colosseum. Sebuah bus datang ke arah halte, banyak orang ikut masuk bus, untungnya kami lebih cepat mendapat tempat duduk dibanding yang lain.
Colosseum lebih menarik dari apa yang selama ini berada di benakku, ramai sekali di sini. Pertunjukkan Gladiator akan dimulai 1 jam lagi, waktu yang cukup lama untuk berkeliling dan mengabadikan foto. Kami banyak mengabadikan foto dan 80% adalah foto kami sendiri. Kami meminta salah satu pengunjung memotret kami dengan telephone genggam kami, alhasil keempat pose tercipta. Pada pose kelima kami sangat terkejut karena pengunjung itu membawa kedua ponsel kami. Terjadi pertarungan sengit di antara kami dan pemuda itu. Pemuda itu tak menyerah. Kami mengejarnya dan meminta tolong pada semua orang tetapi pemuda itu berlari hampir keluar Colosseum dan kami memukulnya tepat di pintu keluar. Semua orang bersorak pada kami.
Aku lebih menikmati Gladiator ini ketimbang film ‘Catching Fire’ yang aku tonton bersama Jane dan Jessie. Walaupun aku merasa sedikit takut dengan pertunjukan Gladiator.
Seorang pemuda keluar dan menyambut kami semua dengan singanya, aku mulai merinding dan merungkup dengan memeluk kedua lututku. Aster mengambil tanganku dan menggenggamnya erat, “Tak apa.” Ia tersenyum manis lagi padaku, kali ini aku mulai luluh dan terbiasa. Aku menurunkan kedua kakiku dan tanganku yang masih digenggamnya. Dia menyuruhku bersandar di pundaknya dengan menggiring kepalaku ke pundaknya. Aku merasa sangat nyaman sekali, rasa takutku perlahan surut begitu saja.
Seorang penantang berdiri dengan gagahnya di atas kotak kayu. Seorang penantang itu harus berhasil membunuh singa atau dia yang terbunuh. Aku tak yakin akan keluar dari Colosseum ini setelah pertunjukan selesai. Mungkin sebentar lagi udara siang menuju sore akan menggiringku keluar, dan merasakannya. Aster berjanji akan mengajakku pergi bila aku tak kuat lagi menonton pertunjukkan ini. Pertunjukkan dimulai, aku hanya bergetar ketakutan.
Nyatanya sampai 2 jam tak ada juga yang terbunuh, hanya mereka luka-luka. Tapi semakin lama aku tak kuat melihatnya. Aku mengajak Aster keluar, dengan senang hati Aster keluar bersamaku. Kami menikmati udara sore yang hangat juga lagu selaras khas dari Italia yang membuat banyak orang yang lewat menari. Aku tak kuasa menahan senandung yang diciptakan oleh kedua kaki dan tanganku juga badanku. 3 perempuan kecil menarik tanganku untuk ikut menari bersama-sama. Aku sangat bahagia saat ini entah kenapa, tapi pikiran soal kedua orangtuaku tetap harus kuindahkan meski tak mengusik kebahagianku. Aku rindu mereka Tuhan.
Kami berempat menari seperti anak kecil, aku melihat Aster juga menari bersama yang lain. Ketiga perempuan kecil ini menarikku dan menyatukan tanganku dan Aster. Aster tersenyum padaku kemudian mengajakku menari, Ah tidak apakah aku harus menganggap persoalan ini sebagai kebahagiaan yang terluap? Apakah aku mencintainya? Entahlah yang penting aku saat ini sedang dimanjakan oleh sekitar. Oh Italia aku benar-benar mencintaimu kali ini.
Hari mulai gelap, kami bersiap menuju bandara internasional dan pulang ke California. Untungnya kami membawa paspor, dan pasporku selalu berada di dompetku. Anggap saja kami sampai pada pagi hari, baru saja menginjakkan kaki ke bandara California kerumunan prajurit kerajaan mengepung kedatangan kami. Aster ditarik dengan lembut dan digandeng oleh salah satu pria berpakaian serba ribet. Dan aku ditarik kasar bagai binatang yang akan dikurung. Aku meronta berusaha melepaskan genggaman mereka. Aku takut, sangat takut, bahkan tasku dibawa oleh mereka. Aku terus meronta dan berteriak, saat Aster akan menolongku mereka malah menyuntik tanganku. Apakah ini obat penenang? Bahkan mungkin untuk binatang.
Aku tersadar dari tidur tiada mimpi. Aku terbangun di jeruji? Apa? Itu tak adil, bahkan jika aku seekor binatang ini tetap tidak adil. Apa salahku hingga jeruji tebal pengap ini menjadi rumah keduaku. Aku ini hanya anak perempuan berumur 16 tahunAku meronta lagi, bahkan terus berteriak. Seorang pria berpakaian besi mendatangiku dan melempar senampan makanan juga segelas air yang keruh. Apa dia bercanda? Apa aku ini hewan? Hewan saja tak sudi menjilatkan lidahnya untuk makanan menjijikkan ini. Perutku mulai lapar, tapi aku akan menahannya hingga aku mati jika perlu tanpa mencicipi sesendok pun makanan buruk ini.
Derapan kaki dari kejauhan membuatku berharap itu adalah manusia penolongku. Lagi-lagi pria yang tadi menyambutku kasar mendatangiku, “Tahanan Jenny keluarga kerajaan ingin bicara padamu!” katanya, suaranya mulai melembut dan tak sekasar pertama kali aku bertemu dengannya. Sang Ratu dan Raja berdiri dengan wibawa. Mereka menatapku dengan air muka bersalah, “Maafkan kami nak telah menuduhmu! Sebagai permintaan maaf dari kami, kau boleh membawa berlian ini” kata Raja sambil memberikan kotak yang sama dengan yang kulihat saat Aster yang membawanya. Aku hanya termenung, “Maaf yang mulia, aku hanya ingin kebebasan, aku tak perlu berlian itu” kataku. Sang Ratu mengelusku, “Tentu itu akan terjadi, pasti” walau begitu suaranya tetap berwibawa. Aster muncul di antara mereka dan memelukku erat, “Maafkan aku Jenny, karena aku kau harus menanggung banyak masalah, maafkan aku” katanya penuh sesal. Aku hanya mengangguk.
Aster mengantarku sampai bandara internasional California lagi. Dia berpakaian seperti rakyat biasa. Aku hanya belum puas melihatnya, jadi aku berusaha menatapnya lebih dalam agar tetap terngiang di benakku. Aster juga menatapku dan mata kami bertemu di suatu titik. Aku ingin menangis melihatnya, “Jadi, hanya begini? Ini waktunya berpisah” ucapnya pelan, dari ucapannya dia seperti membendung air mata yang sangat banyak.
“Iya kau benar, sampai jumpa, semoga hidupmu akan lebih baik” kataku hendak berjalan pergi karena air mata ini bersiap untuk meledak. Aster mencegahku, “Ada yang ingin kubicarakan padamu. Ingat saat aku bertanya tentang menjalin hubungan, mari bertukar nomor” katanya gugup, tapi dia malah menepuk dahinya dan menyesal berkata demikian. Tingkahnya yang penuh kekhawatiran juga terlihat, “Tentu saja, kita akan berada di luar jangkauan, mengapa tidak akun sosial saja? Facebook, Twitter, juga Bbm jika aku sudah mendownloadnya” kataku sambil tersenyum. Aster tersenyum padaku, “Pastinya jika aku sudah mendowloadnya juga. Sebenarnya bukan itu yang akan kukatakan” katanya kembali gugup, “Aku mencintaimu, aku mohon kau akan menyetujui hubungan ini, aku akan selalu datang ke California untukmu!” serunya takut, kemudian bibir manisnya mendarat tepat di bibirku. Ciuman pertama untukku, yang takkan kulupakan. Arti dari Ciuman pertama ini adalah ya. Aku seperti melambung melintasi awan cantik dan langit biru yang indah. Aku ingin momen ini tak pernah berakhir. Ingin dia selalu berada di sampingku bila itu perlu. Sesaat kami melepaskannya.
“Ya aku mau, sangat mau! kau tau satu hal?” mungkin aku terlihat sangat girang, “Apa itu?” tanyanya lebih girang, “Ini adalah yang pertama!” bisikku padanya, “Aku juga” dia kembali berbisik dan kami berpelukan untuk salam perpisahan. Aku berlari menuju taksi, aku melambaikan tanganku tepat air mataku tak bisa terbendung lagi. Mobil ini melaju dengan cepat meninggalkan bandara menuju rumah yang kurindukan.
Aku membuka pintu yang terlihat berat, kedua manusia masih termenung kehabisan air mata. Memandangi foto beberapa bulan setelah aku lahir, “Aku pulang!” teriakku masih menangis. Mereka berdua masih tak percaya dan terperanjat seakan melihat aku ini hantu. Mereka memelukku dengan hangat aku sangat senang kembali berada dalam dekapan mereka. Yah kudengar beberapa lontaran nasehat yang kuterima. Tapi aku tetap senang aku kembali dengan tasku dan kenangan bersamaku. Apa yang akan kulakukan setelah ini.
Pagi ini aku mengajak Jane dan Jessie bermain ke rumahku, mereka membawa PR musim panas mereka juga. Aku telah menceritakan kisahku berkali-kali pada orang yang bertanya kemana aku pergi 3 hari ini. Sebenarnya yang kuceritakan hanya sedikit, dan mereka tak percaya aku pergi bersama pangeran yang hilang. Mereka pikir aku pengarang cerita yang gila dan bermimpi bertemu pangeran Antonio, aku hanya tak mengindahkannya. Mereka akan memiliki buktinya suatu saat nanti. Tapi, aku bercerita banyak pada kedua sahabatku ini, terkadang aku menunjukkan fotoku dan Aster pada mereka. Awalnya mereka pikir aku hanya bergurau. Tapi setelah banyak foto kutunjukkan pada mereka akhirnya mereka percaya. Kukira mereka akan terus beraggapan aku hanya penggemar berat pangeran Antonio.
Televisi yang sedari tadi menyala di kamar tak kami pedulikan, bahkan kami biarkan. Kami sibuk mengobrol soal pangeran Antonio. Tetapi seorang pembawa acara terkenal dari tv internasional berkata “Pangeran Antonio Sebastian yang hilang” aku terkejut dan melompat hingga aku berada tepat di depan televisi. Saat itu Aster datang dan melambaikan tangannya. Dia sangat tampan, tapi kali ini dia tak memakai wignya lagi, “Apa? Antonio memotong dan mengecat rambutnya seperti yang ada di ponselmu Jenny!” mereka berteriak sangat tak menyangka hal itu terjadi. Ternyata sedari tadi mereka belum percaya hal itu benar-benar terjadi. Biarlah mereka, konyol sekali.
“Hai Pangeran Antonio! Bagaimana kau bisa lari dari kerajaan?”
“Yah, aku tertekan kurasa.”
“Bagaimana dengan wanita yang ada di layar itu?”
“Hahaha bagaimana kau bisa mendapatkan fotonya? Dia sangat cantik bukan?”
“Ya, benar hahaha, rambutmu bisa berubah secepat kau mau? Itu sungguh menggelikan hingga kau punya sisir ajaib hahaha!”
“Yah aku harap begitu, bagaimana? Kau lebih suka yang ini?”
“Tentu saja, kau lebih terlihat tampan yang mulia, kurasa pangeran Antonio sedang jatuh cinta!”
“Apa kau bergurau? Kurasa benar juga”
“Hahaha, sekarang apa yang ingin kau katakan pada dunia sekarang ini yang mulia?”
“Aku sangat senang dapat kembali ke kerajaan dengan selamat dan membawa kenangan terindah yang bisa kudapat 3 hari kemarin. Andai tak ada Jenny Margaretha, aku tak akan bisa selamat sampai istana. Dan aku akan berjanji tak akan memakai wig bodoh itu lagi, terimakasih untuk Italia, Colosseum dan rakyat Roma yang mendukung kami. Kurasa banyak kenangan yang akan kami habiskan disana suatu saat nanti. Aku harap kau menjaga hatiku dengan baik Jenny, tunggu aku menjemputmu” Diakhiri lambaian tangan pada kamera. Air mukanya terlihat senang sekali, seluruh dunia melihat fotoku dan Aster sedang bersama di bandara internasional California dan Colosseum, untung saja bukan saat itu.
Berita sekilas ini mungkin akan diulang berkali-kali di seluruh belahan dunia, atau Aster akan sangat sibuk kesana kemari menghadiri acara Coffee Break mewah. Jane dan Jessie masih menganga di belakangku. Mereka masih tak percaya akan hal ini. Aku pura-pura tak memperhatikan televisi, aku membalikan badan dan kembali mengerjakkan PR musim panasku. Jane dan Jessie menatapku, aku hanya tersenyum. Seketika ponselku berdering banyak sekali pesan yang masuk. Mereka semua menanyakan keadaanku dan hubunganku dengan pangeran Antonio.
Aku hanya berharap benar hubungan ini akan bertahan dan kembali bersemi selamanya di Italia. Thanks Italia, Roma, Colosseum. Kenangan 3 hari itu tak akan kulupakan.

Cerpen Karangan: Fatimah Rizqi Salam. H
Facebook: fatimah rizqi salam herawan
Read More

Miracle (Part 1)


Tak kusangka masih saja kudekap kedua lutut dan bertopang dagu selama 2 jam, ini benar-benar membuatku lelah. Aku hanya tak mengerti maksud dari bulir-bulir kata yang kupelajari saat ini. Haruskah kutunggu malam tiba untuk mengerti semua kata-kata yang cukup membuat semua ini terasa menjengkelkan. Sedikit membantu tawaran Jane untuk nonton saat ini, tanpa pikir panjang kulepas dekapan ini dan berlari menuruni tangga, kutemui wanita yang berstyle 35 tahunan serta rambut pirang keriting kecoklatan hanya dikucir setengah bersimpul pita yang sedang bersandar santai sambil membaca buku yang setidaknya membuat mom cukup sibuk untuk tak mengantarku.
“Apa yang kau inginkan?” tanya mom tanpa memalingkan wajahnya, aku hanya mendesah panjang -memberi isyarat agar memalingkan wajahnya kiranya hanya 10 cm dari buku- mom memalingkan wajah dan mengusap rambutku yang cukup berantakan,
“Kenapa kau selalu begitu? Tak bisakah dengan cara lain?” mom terus bertanya,
“Kau tau mom? Di sini benar-benar mencekam untuk belajar, aku hanya…” kataku sembari berkedip, kurasa itu termasuk cara jitu agar aku dibiarkan pergi,
“Yeah? Lalu apa? Ku tebak kau ingin menonton dengan Jane dan Jessie?” kata mom, aku mengangguk lemas sambil tersenyum dan menatap paras wajah wanita cantik di hadapanku,
“Mom tak perlu mengantarku, aku akan pergi dengan Gren —supir keluarga” aku berusaha meyakinkan, air mukanya tak terlalu meyakinkan untuk bilang ‘ya’ baiklah selang beberapa detik mom mengangguk setuju,
“Pintu tutup saat makan malam” kata mom sambil membuka buku yang tadi dibacanya kemudian sibuk membaca.
Singkatnya aku sudah bersama Jane dan Jessie di antrian tiket ‘Catching Fire’ aku benar-benar banyak bicara dan tak bisa berhenti, kurasa mereka berdua tak terlalu keberatan untuk mendengarkanku. Sampai akhirnya giliran kami untuk membeli tiket bibirku tak henti-hentinya bergerak. Dari kejauhan seperti ada suara memanggilku dengan keras, “Jenny” darimana sumber suara itu berasal? Kemudian terdengar lagi dan terus-menerus sampai 3 kali. Terlihat sosok cantik, bersepatu high-heels bercelana pendek diatas lutut berbaju merah muda tak berlengan, dan rambut pirang pucat dibiarkan terurai lembut -aku hanya mengkoreksinya dari bawah- Anne. Anne melambaikan tangannya penuh semangat. Dia berjalan cepat menghampiri kami yang hampir memesan seember popcorn.
Tak lama, seorang laki-laki tinggi, berkulit putih cerah berparas tampan dan wajahnya tak asing bagiku. Aku tercengang, itu Richard. Lelaki berumur 16 tahun yang kusuka sejak aku duduk di bangku kelas 7. Tak ada yang tahu hal ini kecuali Jane dan Jessie. Richard langsung merangkul Anne dan memeluknya di depan mataku, benar-benar mengiris hati. Berusaha kututupi sedikit cemburu yang membuat air mukaku berubah drastis. Tapi kurasa mereka sedikit menyadari ada yang berbeda denganku.
“Kenapa kau tak mengerti?” bisikku pelan, berharap tak ada yang mendengarku,
“Aku mengerti Jenny!” sial Jessie mendengarnya,
“Anne, sepertinya kami harus pergi untuk mengisi perut Jenny, dia tak tahan lapar” kata Jane menyelamatkanku,
“Kalian memang sahabatku!” bisikku kepada Jane dan Jessie
Kami tak pergi makan atau ke restoran melainkan kami memilih ke kamar mandi, karena ku yakin mereka tahu aku banyak membendung air mata yang beberapa detik lagi akan meledak. Aku masih tak percaya sekaligus tak suka dengan hubungan Anne dan Richard. Kisah cinta wanita – aku di usia 16 tahun ini sungguh benar-benar membuatku kesal dan putus asa. Rasanya seperti terjangan ombak, sengatan listrik dari petir dan masuk dalam lautan api tanpa dasar, buruk sekali. Mungkin lebih buruk dari kata ‘buruk sekali’. Aku merasa terperosok di jurang tanpa dasar. Aku terisak. Tapi semakin lama aku merasa terperosok dan terus terisak sampai dadaku sakit tertekan, aku semakin kehilangan diriku sendiri.
Ku buka pintu kamar mandi tanpa ragu, menyeka air mata, mencuci mata, dan menggandeng kedua temanku untuk keluar dari kamar mandi. Kami putuskan untuk cepat membeli popcorn dan minum kemudian masuk pada theatre 2 secepatnya, karena pemberitahuan pintu theatre 2 telah dibuka sudah berkumandang keras.
Selama menonton aku tak bisa tenang. Sejujurnya aku benar-benar terusik akan kejadian tadi. Terus berputar-putar di kepalaku tak henti-hentinya membuatku pusing. Kunikmati saja film yang sejujurnya juga tak nyaman.
Berakhirlah film dan aku berharap pemandangan terus baik, tanpa Anne dan Richard. Tak lama seseorang memanggilku dalam telephone, Mom? Apakah aku melanggar salah satu peraturannya? Kurasa jam makan malam juga masih 2 jam selanjutnya. Okay aku angkat.
“Jenny, mom sekarang di salon tempat seperti biasa, pergilah ke sini!” suara mom terlihat santai sekali,
“Tidak bisakah kau menunggu mom?” tanyaku lemas,
“No! Apa salahnya hanya berjalan 1,5 km Jenny Margaretha?” suara mom meninggi, jika sudah begini, aku tak bisa berkutik macam-macam,
“Baiklah aku ke sana” semakin buruk saja hariku, aku hanya melemas dan mematikan sambungan telephone.
Aku pergi kembali ke lantai 1 dan keluar menuju jalanan yang ramai. Tak kusangka aku harus berjalan 1,5 km sendirian, tiada teman bicara. Apakah itu serius? Ku lakukan tanpa teman yang mendampingiku.
Baiklah, aku sangat lelah dan air minum yang kubawa habis. Di sekeliling hanya ada keramaian, tak ada toko yang menjual air minum. Terlintas ide untuk pergi ke taman dan kurasa tak apa, karena mom akan menghabiskan waktu lama di salon itu. Aku termenung di bangku yang cukup panjang ukurannya untukku. Seorang lelaki tampan, dengan kemeja hitam dan berkerah tinggi menghampiriku. Sepertinya lelaki itu sebaya denganku. Dia tersenyum padaku, sangat tampan, kemudian duduk dan memasang raut muka takut,
“Kau tak apa?”
“Tak begitu baik, aku tersesat”
“Mungkin aku dapat membantumu, aku kenal tempat ini seperti diriku sendiri”
“Baiklah, kau tau bougenville hotels? Aku baru pertama pergi ke California”
“Mudah saja, tak begitu jauh dari sini, aku akan mengantarmu. Tapi sebelum itu, bolehkah ku tahu namamu dan asalmu?”
“Tentu, aku As.. Aster, aku berasal dari Perancis. Kalau kau?”
“Aku Jenny, apakah ada di rumahmu?”
“Ya, apabila ayah dan ibuku mempunyai waktu luang berada di rumah. Baiklah mari bergegas!”
Ranselnya terus mengeluarkan suara yang sedikit menggangguku, bagaimana ku bisa tak peduli suara berisik itu? tapi karena suara itu, aku penasaran dengan isi di dalamnya, entah perlu atau tidak. Ah sudahlah. Kami mulai tak canggung untuk saling bicara. Kami bicara banyak hal di perjalanan yang cukup jauh ini, sangat banyak. Entah aku merasa nyaman saja di dekatnya. Rasanya juga tak karuan, girang maupun takut juga nyaman. Tatapannya selalu membuatku berpaling ke arah lain. Aku tak sanggup melihat mata biru yang besar dengan tajam. Tatapannya tajam namun halus, dan selalu menatap lekat-lekat. Siapa yang tak takut dengan hal seperti itu. Kurasa dia tampan dan sangat perhatian kepada perempuan, benar-benar polos juga. Tiba-tiba aku mulai berfikir tentang Richard dan Anne. Kedua hantu pikiran itu tak bisa lenyap dari hidupku sekarang. Tidak hanya dengan Anne aku melihatnya bergandengan roman. Saat itu aku tak ragu untuk menjauhkan diri dari Marrie secepat aku bisa saat tahu Richard berkencan dengannya, lagipula Marrie memang menyebalkan, dia selalu membuatku terpaksa melakukan sesuatu yang tak perlu sampai aku harus dihukum oleh mr. Grill saat pelajaran musik kesukaanku. Juga saat pelajaran olahraga oleh mr.Ken, aku juga harus berlari 10 putaran memutari lapanngan yang benarlah luas.
Kami mudah akrab hanya dalam hitungan menit. Tak kusangka dia anak yang asik diajak bicara. Aku benar-benar terkejut saat dia bertanya hal yang seharusnya tidak penting untuk ditanyakan.
“Sebagian orang tidak suka tak mempunyai status yang jelas dalam hal cinta. Apakah benar untukmu juga? Atau kau punya seorang lelaki yang mempunyai status bersamamu?” tanyanya dengan santai.
“Apakah kau serius? Pertanyaan bodoh hahahahaha” aku terkekeh, dan berharap dia tak bertanya demikian lagi.
“Apakah aku tampak bercanda?” geraknya tetap santai, namun suaranya sedikit meninggi.
“Kau hanya ingin mencari teman yang bernasib serupa ya, kan?” aku masih terkekeh.
“Ya sebagian besar begitu, namun aku hanya lebih suka tak memiliki status begitu” bagaimana bisa aku tak menghindarinya kali ini kalau dia terus menatapku dengan tatapan tajamnya.
“Ya aku juga begitu, bahkan untuk memiliki status begitu kurasa tak mudah” aku agak kurang waras beranggapan demikian. Mungkin aku akan menanggung masa remajaku dengan tekanan batin yang mengatakan lelaki tak ada yang menyukaiku.
“Benarkah? Kurasa kau bisa dibilang cute” pernyataan itu membuatku cukup menghentikan waktu yang berjalan. Aku berusaha menjauhkan pikiranku terhadapnya yang bicara begitu. Ah… kenapa dia tega membuatku semakin redup? Mungkin dia hanya ingin membuatku berhenti gusar.
“Kau hanya ingin membuatku bahagia kan?” otakku semakin aneh saja. Tak percaya aku bisa melontarkan kata seperti itu.
“Tidak juga, hanya aku berkata benar, kenapa? Kau senang? Syukurlah” bisakah dia berhenti menekanku dengan 2 perkataan yang membuatku melambung tanpa arah, tanpa tujuan. Tidakkah dia mengerti aku tak ingin memikirkan tentang cinta. Hal itu benar-benar membuatku bingung.
Kami melanjutkan perbincangan yang sedikitnya tidak ada pokok pembicaraan yang tepat. Rasanya sudah lama kami berjalan ternyata hanya 10 blok tempat kita meninggalkan taman. Seorang anak kecil bertubuh kurus berjaket merah marun dengan celana pendek coklat kusam, juga kucir yang tak rapi, membawa sekotak besar camilan coklat manis yang tampak lezat. Kami berdua berpandangan sebentar kemudian Aster berlari mengejar anak tadi, aku yang hanya berusaha mengaliri suasana dengan hal yang tenang-tenang saja tak begitu berjalan baik. Tanpa pikir panjang aku berlari mengikuti Aster, sambil tersenyum lebar. Aster kembali dengan 2 kotak coklat manis. Ah senyuman itu lagi, kenapa aku selalu tak bisa berhenti tenang jika Aster sudah mulai senyumnya yang membuatku terpaku tanpa berfikir apapun yang logis.
Aku masih terpaku tanpa gerakan sedikitpun. Aster memberikanku sekotak coklat itu. Dia pikir itu akan membuatku bergerak lagi. Tapi selama dia tersenyum aku akan terpaku begini. Gelora untuk bergerak tidak kurasakan saat ini, bahkan Aster menyenggolku agar aku bergerak atau sekadar berguling di tanah. Aku hanya mengangguk dan berterimakasih. Sebuah coklat manis bulat masuk dalam mulut hangatku, musim panas kedua ini benarlah panas. Coklat kedua akan kunikmati lebih lembut, tapi hal apa aku tersungkur ke depan, pandanganku mengunang, dan …
Bagaimana ini terjadi? helaian awan mengeliliku kemudian berputar-putar sempurna. Aku mulai berfikir bahwa surga telah kupijaki, dan aku akan hidup di sini. Tapi kenapa aku masih merasa sakit pada bagian kepala. Hempasan angin yang menerpa rambutku dirasa cukup panas. Sungguh aku masih bisa merasakan rasa sakit pada pinggulku juga punggungku. Aku memilih untuk berbaring di tempat yang sebenarnya surga atau bukan entahlah. Tiada siapapun di tempat ini, tidak juga sebuah benda kecil atau apapun yang bisa memberi jaminan tempat apakah ini. Aku kembali tak sadarkan diri.
Goncangan ini membuatku terguling ke samping. Kepalaku pusing sekali, entah karena aku dipukul dengan benda sekuat apa atau memang aku migrain. Itu tidak penting. Hanya saja kali ini aku berada di mana? Aku berusaha mencari petunjuk aku di mana. Benda ini berjalan, namun gelap, juga banyak barang-barang yang mengeliliku bak mengadiliku mengapa aku di sini? aku tak yakin bahwa ini mobil van atau pick-up dengan tenda di baknya. Tiada hal yang kupikirkan kecuali Aster, pasti dialah penyebab ini. Dia adalah orang jahat yang mengelabuhiku dan menculikku. Rasanya aku ingin mencekiknya sampai mati, apa maksudnya, dia telah membuatku menyukainya ataupun tatapannya juga senyumnya. Barang-barang tak jauh dari tempat aku duduk terkujur bergerak-gerak, kepala Aster muncul tak lama setelah itu. Kuarahkan kedua tanganku yang hendak mencengkramnya, aku mencekiknya sebelum nyawanya pulih total. Aku sedang gila atau apa aku mencekiknya sampai dia memukul-mukul wajahku, aku mendadak stress sendiri. Aku mencengkram wajahku sendiri, Aster berusaha melepaskannya dan menggenggam tanganku erat-erat.
“Penghianat!” kataku terus berteriak kasar.
“Apa? Pertama, bagaimana kau bisa berkata begitu kalau aku tidak tahu kita dimana? Kedua, kau gila!” ya, dia benar, aku gila. Bahkan lebih dari gila untuk menuduh orang, dan mencekik laki-laki yang berusaha membantuku. Aku terdiam dan mencoba tenang. Aster memindahkan tanganku ke dekapan yang lebih hangat. Aku tak menyangka akan sehangat dan setegang ini. Dan aku juga meringkup dalam hangat yang sangat nyaman ini. Aku baru pertama merasakan pelukan lelaki sehangat ini selain Papa. Bahkan kakek sendiri tidak senyaman ini. Rasanya seperti hanya ada kami saja di sini, nyatanya hal itu benar. Dengan lembut Aster melepasnya, sembari berkata, “Kita akan baik-baik saja” aku mengangguk dan mendekap kedua kakiku untuk ke sekian kalinya. Aku berharap di antara kami menganggap persoalan tadi kunjung surut ditelan ombak kegelapan. Aster berbisik padaku agar aku berjalan menuju ke arahnya.
Aster sudah gila bila dia berfikir untuk melompat dalam keadaan benda ini bergerak dengan kecepatan rata-rata 80km/jam. Ah dia memang benar-benar anak lelaki yang beruntung. Hamparan luas rerumputan tinggi mengundang gejolakku untuk mendukungnya. Aku mengangguk meski aku tak percaya harus melakukannya. Tangannya meraba ke punggungnya dan kemudian menghembuskan nafas panjang yang nampak sangat lega, aku ikut meraba punggungku dan berharap tas punggung yang sedaritadi ku bawa masih ada. Aku girang karena aku masih bisa merasakan tas biru muda yang ku dapat di salah satu pusat belanja mewah di Singapore. Aku tak menyangka Aster menarik lenganku saat aku masih bersiap, aku berteriak seakan jika sudah begitu dunia akan kembali seperti semula. Aku jatuh berguling-guling, pikiran bahwa sebentar lagi seseorang akan menemukan kami dalam keadaan gila dan kami akan selalu membutuhkan morfin di tidur kami menghantuiku. Kepalaku bertambah kacau saja, tapi aku harus mencari Aster. Dimana anak itu? rumput tinggi ini semakin membuatku susah melihat. Aku terus memanggilnya, lagi-lagi kepalanya tiba-tiba muncul di tempat berjarak 1 meter ke timur dari tempat aku duduk. Kali ini ada kesempatan untuknya mengumpulkan nyawa. Aku tak memberontaknya lagi, aku mengelus pundaknya entah mengapa aku bisa lebih aneh dari biasanya. Dia menoleh dan tersenyum, senyuman manis yang selalu membuatku terpaku, “Kau tak apa?” dari suaranya sebenarnya dialah yang harusnya menghawatirkan dirinya sendiri. Aku mengangguk, “Kau benar-benar gila!” kataku sembari tertawa.
Aku baru bisa berfikir logis sekarang, nyatanya 2 fakta yang sedang kugenggam masih tak dapat kupercayai. Antara kami sedang berada di mana? Dan masih pukul 8 pagi. Apa yang terjadi sebenarnya? Aku mengeluarkan telephone yang kubawa kemudian melihat di mana kita sebelum battery-nya habis dan menelpon mom. Italia! Ini gila, bagaimana bisa kami berada di Italia dan perjalanan sudah menghabiskan waktu 1 hari. Aku berusaha menelpon mom. Sial, di luar jangkauan. Secepatnya kami harus mencari pusat kota atau kehidupan manusia agar dapat meminta bantuan. Aku terus melihat GPS yang mengarahkan kami ke kota Roma tapi sialnya lagi battery telephone-ku habis. Untungnya aku mengingat jalannya, hanya 1 mil dari sini.
Kami kembali menyusuri jalanan yang sepi, daripada harus menanggung resiko bertemu kawanan ular, lebih baik melewati jalan berbatu yang sepi. Aster terus mendengus di antara perbincangan kami.
“Andai saat itu aku tak berkeinginan untuk bebas.” Katanya dengan penuh sesal.
“Apa? Apa maksudmu?”
“Begini, hal ini akan membuatmu meninggalkanku.”
“Hahaha apa kau bercanda? Apa kau pikir aku sejahat itu?” aku tertawa lepas, untuk meredupkan rasa tegang di antara kami.
“Berjanjilah!” serunya dengan air muka tegang.
Aku mengangguk setuju.
“Aku pangeran dari kerajaan Inggris. Setiap hari di hariku hanya ada larangan ini itu, perintah ini itu, walaupun aku dimanjakan namun tetap hal itu menekanku. Aku ingin bebas seperti banyak orang kebanyakan. Aku menyusun rencana, aku mengatakan pada kedua orangtuaku, saat sorotan kamera padaku aku memakai wigs agar rambutku berwarna hitam dan memakai make-up lebih tebal dengan alasan agar aku nampak lebih tampan. Kedua orangtuaku menyetujuinya tanpa berfikir aku mempunyai alasan lain. Mereka bilang memang bangsawan seharusnya berfikir sepertiku. Hal itu sudah berjalan lama, mungkin 1 tahun atau 2 tahun, sampai semua orang lupa bagaimana aku yang asli. Suatu hari seperti biasa jamuan makan malam mewah berjalan membosankan, lebihnya aku tak mempunyai semangat menyeduh ataupun menyantap makanan kecil di meja karena aku akan dijodohkan oleh putri dari kerajaan yang cukup jauh dan dia hadir di jamuan makan malam itu. Aku tak inginkan semua keputusan kedua orangtuaku saat itu. Tapi, malam itu adalah kesempatan bagus untuk bebas, semua orang sibuk mempersiapkan perjodohanku. Para prajurit yang berjaga di pintu belakang pergi ke ruang tengah dan ikut dalam kesengsaraan itu. Dengan mudah, aku keluar dan memesan tiket pesawat menuju California untuk bertemu sahabatku sewaktu aku masih kecil. Sebenarnya dia hanya anak dari salah satu pelayanku, namun hal itu tak mengusikku sama sekali, sesampainya di sini aku mendapati makamnya yang bunganya masih segar. Aku jarang sekali pergi ke luar istana apalagi ke luar negeri. Penginapan Bougenville yang sederhana kurasa cukup untuk beberapa hari, aku menelusuri California dan bertemu dengan kau. Namaku adalah Antonio Sebastian Terfomio. Kau harus tetap memanggilku Aster” Katanya bersungut-sungut. Aku hanya terdiam, aku sangat kecewa, ingin sekali ku hempaskan genggaman tangan ini ke wajahnya. Aku menarik nafas panjang kemudian tersenyum kecut.

Cerpen Karangan: Fatimah Rizqi Salam. H
Facebook: fatimah rizqi salam herawan
Read More

Suara Merdu Yang Menggelitik Hati


“sebenarnya aku juga suka seseorang di sini.”
Serasa ada yang memukul dadaku saat itu. Tersentak dengan ucapannya. Sekuat tenaga ku mencoba tetap tersenyum, sambil menyembunyikan wajahku darinya.
“ciee… biar aku tebak siapa,” kataku seketika.
Aku tak menyangka masih bisa berkata seperti itu setelah mendengar pengakuannya yang mengejutkan. Aku yakin gadis yang dia suka bukan aku. Entah mengapa aku merasa gadis yang dia suka adalah anak kelas lain. Dan aku mengenalnya.
“anak kelas lain, kan?”
Ada kilatan terjejut di matanya. “kok tau?”
Dan lagi, sekuat tenaga aku mencoba tersenyum penuh arti. “iya dong. Lagian juga udah keliatan kok. Cara kamu ngobrol sama dia udah keliatan. Apa perlu aku sebutin namanya?”
Dia sibuk menutup pintu mobil, sementara aku duduk sambil pura-pura memainkan HP. Dan pastinya masih dengan bibir tersenyum jahil. Kutunggu responnya, hingga begitu dia menyalakan mobil, matanya beralih menatapku sambil tersenyum malu-malu.
“coba aja kalo kamu emang tau.”
Aku memaksakan senyuman yang sama. Walau diam-diam aku menarik napas yang terasa berat. “Nia, kan?” ucapku.
Kulihat wajahnya langsung berubah cerah. Dia memalingkan wajahnya dariku, menatap lurus ke depan lalu melajukan mobil.
“iya, Nia.” Katanya pelan. “nggak tau kenapa aku bisa suka sama dia. Dia imut, manis, cantik. Dan kayaknya dia juga suka sama aku.”
Otakku mendadak mengingat tingkah gadis itu saat bersama Ardi. Dia terlihat ceria, beda dan perhatian. Aku juga sempat melihat Ardi mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas.
Aku tersenyum mengingatnya. Walau hati ini sakit, tapi entah mengapa. Aku senang melihat Ardi senang. Yang terpenting bagiku adalah Ardi masih menganggapku ada dan sebagai teman yang dipercaya.
“iya, Ar. Kayaknya dia juga suka sama kamu. Keliatan kok.”
Ardi langsung tertawa-tawa. Namun tak berkomentar apa-apa. Mobil melaju pelan begitu hampir tiba di kosanku. Dan saat mobil itu berhenti, aku membuka mobil. Sebelum menutupnya aku tersenyum pada Ardi.
“makasih, Ar. Dan selamat berjuang buat Nia. Hahaha…”
Seketika Ardi tersenyum. “haha, udah ah, Fal. Jangan bikin aku makin berharap ke dia. Dia udah punya cowok kok.”
Lagi-lagi aku tersenyum. Walau aku juga merasa aneh dengan senyumku ini. “kan cuma sebatas suka. Pokoknya selamat berjuang deh. Hehe, ya udah, Ar. Hati-hati yaa…” begitu mobil Ardi menghilang, aku langsung masuk ke dalam kos. Setelah beberapa kali menarik napas, akhirnya tanganku bisa menulis dengan lancar pada diary coklatku.
Aku tidak tahu sejak kapan rasa ini ada untuk Ardi. Dia bahkan laki-laki yang berbeda keyakinan denganku. Selama ini aku tak pernah menyukai laki-laki yang berbeda keyakinan denganku. Ardi beragama katolik, dan aku islam. Selama SMA, aku selalu menyukai laki-laki yang taat pada agama, yang rajin, tawadu’ dan bertanggung jawab. Sementara Ardi, laki-laki ramah dengan wajah belasteran cina jawa itu, dan memiliki mata coklat itu, aku tak tahu kenapa aku bisa menyukainya. Banyak laki-laki yang bertanggung jawab di sini, banyak laki-laki yang baik di sini. Tapi entah kenapa hatiku jatuh padanya.
Aku juga tidak tahu sejak kapan rasa ini tumbuh dan menjalar. Dia memang cukup dekat denganku, dia kadang manja, dia kadang suka mencorat-coret bukuku, dia kadang mengejekku, memberi kritikan pedas, dan kadang bercerita panjang lebar tentang keluarganya, dan untuk kali pertama dia bercerita masalah perasaannya pada gadis itu.
Ada sesuatu yang mengiris hatiku. Itu pasti, tapi ada hal yang lebih menyakitkan bagiku daripada mengetahui masalah perasaannya pada gadis itu. saat melihatnya sedih, tak bersemangat, saat melihatnya bingung, saat melihatnya lelah. Hal itulah yang membuatku rela melakukan sesuatu untuk membuatnya kembali tersenyum. Hal yang paling membuatku sakit saat melihatnya sedih.
Pernah suatu hari dia mendadak duduk di sampingku lalu berkata, “aku sakit, Fal.”
aku langsung khawatir dibuatnya. Namun aku tak ingin menunjukkannya di depannya. Yang kulakukan saat itu adalah meliriknya sambil berucap pelan. “kok bilang ke aku? Itu derita lo!” Dan aku menyesali perkataanku saat itu.
pernah suatu hari aku melihatnya sedih karena mendapat nilai jelek. Tanpa bisa kucegah, aku menghampirinya.
“Ardi kenapa?” tanyaku, aku sangat khawatir melihat wajahnya yang terlihat lesu. Dia hanya menatapku sambil tersenyum kecut. Saat itu aku hanya ingin menghiburnya, membuatnya tersenyum. tapi tak tahu harus berbuat apa. Dalam doaku, aku hanya berdoa semoga dia bisa berdoa dan menenangkan dirinya seperti aku. Karena bagiku hanya dengan bersujud kepada Tuhan segalanya akan terasa menenangkan.
Hari begitu cepat berlalu, setiap hari seperti biasa dia selalu bercerita padaku. Menjadi teman sharing. Bahkan aku telah menganggapnya sebagai sahabatku, walau aku tak tahu dia menganggapku atau tidak. Seperti biasa, dia duduk di sampingku lalu mengambil bukuku dan menulis sesuatu di sana. Dia mencorat-coret gambar-gambarku.
“Ardi, nggak ada kerjaan ya. Bukuku yang dicorat-coret terus. Coba deh bukumu yang digituin.”
Dia hanya nyengir di sampingku dan tak menghentikan kegiatannya.
“Fal jelek, item, kecil lagi.”
Aku tersenyum mendengar ejekannya yang sudah sering kudengar.
“kalo kamu kayak bapak-bapak,” balasku sambil menulis kata bapak-bapak di bukuku sendiri.
Dia tersenyum, tak lama kemudian dia menuliskan kata sedih di sana, lalu memberi imoticon menangis. Aku hanya bisa senyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.
Seusai kelas, dia mengajakku pergi ke Fakultas Hukum untuk menemaninya. Aku hanya mengangguk. Dalam perjalanan, aku suka mendengarkan cerita-ceritanya. Curhatannya dan keluh-kesahnya masalah kuliah. Dan saat sedang asik mengobrol. Mataku menangkap seorang gadis manis dari arah berlawanan dengan kami. Dia Nia, gadis itu juga menatap Ardi.
“hai!!” teriak Ardi lalu memelankan laju motornya sambil menoleh ke belakang. “Nia, Fal,” katanya pelan.
Aku mencoba tersenyum. “iya, dia manis ya.”
Ardi tersenyum. “dia pake kacamata juga ternyata.” Katanya mengomentari penampilan Nia. Kemudian Ardi kembali melajukan motornya.
Begitu cerahnya wajah Ardi saat bertemu dengan Nia. Lagi-lagi ada yang mengiris hatiku. Hanya menarik napas yang bisa kulakukan saat ini.
Sejak itu, aku berusaha menghilangkan rasa itu padanya. Kadang berusaha menjauhinya. Aku ingin menenggelamkan rasa sayang ini padanya. Agar setiap bertemu dengannya, agar setiap mendengar ceritanya aku bisa lapang dada. Tak ada rasa yang sakit. Dan agar aku bisa fokus kuliah. Aku juga berusaha menyadarkan diriku sendiri bahwa laki-laki itu berbeda keyakinan denganku. setiap bertemu dengannya, hanya satu yang kulakukan. Tersenyum seceria mungkin.
Tak kusangka, usahaku menghasilkan buah. Aku bisa fokus kuliah dan setiap mendengarkan ceritanya lagi aku mulai lapang. Walau hanya satu yang tak bisa kuhilangkan. Saat melihatnya sedih, saat melihatnya kesusahan, atau kebingungan. Ada khawatir di sana. Aku hanya ingin melihatnya senang, walau dia menyukai gadis lain. Asal dia senang, aku rela melepaskannya.
Pada Natal semester tujuh aku pulang. Dan aku tak pernah mengucapkan selamat natal pada Ardi. Karena memang dalam agamaku tidak diperbolehkan. Dalam kereta aku merenung. Heran kenapa aku bisa menyukai Ardi. Kenapa aku bisa menyukai laki-laki yang berbeda keyakinan denganku. Padahal dulu waktu masih SMA, aku menyukai Alfa, laki-laki cerdas, bertanggung jawab, ramah, sholeh dan tawadu’ juga rajin beribadah. Aku tersenyum sendiri mengingat Alfa. bagaimana kabar laki-laki itu. Terakhir aku melihat tweeternya, ketika dia jadian dengan mahasiswi kedokteran.
“lho? Fal?”
Aku terkejut saat seseorang menepukku dari samping. Segera kutolehkan kepalaku. Mataku terbelalak tak percaya seseorang yang telah menegurku dari samping. Ternyata Alfa. laki-laki itu mengenakan baju merah batiknya yang biasa ia gunakan saat pondok romadhan di SMA.
“Alfa?” kataku tak percaya, aku tersenyum senang melihatnya.
“gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah baik, Al. ciee, makin gaul aja di Bogor.” Kataku. Entah mengapa, masih ada getaran aneh di dadaku saat bertemu dengan laki-laki ini.
“harus ada perubahan, Fal. Kamu dimana?”
Aku tersenyum. “aku di Jogja.”
Dan terjadilah obrolan panjang dengan Alfa. Aku benar-benar tak menyangka bisa bertemu dengannya. Dengan cinta pertamaku. Laki-laki yang selalu menjadi motivasiku di SMA dulu. Kata-katanya yang selalu bijak. Dan semenjak pertemuanku dengan Alfa. Hubunganku dengan Alfa semakin dekat. Saling berkirim pesan di HP, atau chatting di FB dan tweeter.
Rasa sakit itu kembali muncul. Lagi-lagi aku melihatnya sedih begitu keluar dari ruangan skripsi. Wajah Ardi kembali lesu, tak bersemangat. Aku menghampirinya. Aku tahu aku menyayangi Ardi, aku sangat menyayanginya. Rela melakukan apa saja untuk menghilangkan wajah kusutnya itu.
“Ardi kenapa? Cerita dong, jangan sedih,” kataku. Dadaku kembali sesak saat melihatnya hanya tersenyum kecut tak membuka suara.
Saat itulah aku ingin menangis. Tiga tahun aku menyimpan rasa ini pada Ardi. Rasa sakit setiap melihatnya sedih, walau aku tak tahu alasannya kenapa. Aku duduk di sampingnya, menemaninya dalam diam. dalam hati aku hanya bisa berdoa. “ya Allah, tuntunlah hamba, tuntunlah hamba dan berikan hamba kekuatan iman…”
“Ardi jangan sedih… harus move on…” kataku. Aku tak tahu harus menghibur apalagi untuknya. Dia masih tak bergerak sedikitpun.
Tak mendapat respon darinya. Akhirnya aku beranjak dari tempat. Namun mendadak dia menarik tanganku. Aku tersentak, aku menoleh dan menatapnya yang masih duduk. Dia masih diam tak berkata apa-apa. Namun tak juga melepaskan tanganku. Hatiku semakin teriris melihatnya. Tanpa bisa kucegah, air mataku menetes. Dan jatuh tepat pada tangannya yang mencekal pergelangan tanganku. Aku terkejut melihat air mataku yang menetes itu. Kali ini aku benar-benar pasrah saat dia mendongak dan melihatku menangis.
Ardi berdiri dan menatapku heran.
“maaf,” hanya itu yang bisa kukatakan.
“Fal kenapa?” tanyanya kebingungan.
Aku menggeleng. “nggak… aku cuma nggak suka kalo ngeliat Ardi sedih. Aku nggak tega. Aku cuma pengen ngeliat Ardi senyum ceria.”
Ardi melepaskan cekalannya. Dia mungkin terkejut, aku tidak tahu bagaimana mimik wajahnya saat itu.
Sambil mengusap air mata, Aku mencoba menatap Ardi sambil tersenyum. “semangat ya, Ar. Yakin dan berdoa aja.” setelah berkata begitu, aku melangkah pergi. Satu-satunya yang kuhubungi adalah Alfa. akhir-akhir ini aku memang banyak bercerita dengan Alfa. tentang perasaan anehku pada Ardi. Setiap Ardi bercerita perasaannya pada Nia, aku tidak merasakan sakit, tapi setiap ku melihat wajah sedihnya. Aku sakit. Satu hal yang diucapkan Alfa saat itu.
“banyaklah menbaca sholawat, Fal. Banyaknya mengaji, sholat malam, biar kamu tenang.”
Dan aku benar-benar melakukan apa yang dibilang Alfa. Aku memang mendapat ketenangan setelahnya.
Waktu berlalu begitu cepat. Telah lama aku tak bertemu dengan Ardi semenjak kelulusan wisuda. Semenjak kejadian itu, aku memang mencoba menghindari Ardi. Aku takut, terlalu takut. Aku takut semakin menyayangi laki-laki itu. Hanya jika berkumpul dengan teman-teman aku mencoba bercanda dengannya. agar tidak terlalu kaku. Namun tak pernah pergi berdua dengannya lagi hingga wisuda tiba.
Aku bekerja di luar jawa. Tepatnya di Sumatera, tempat asal Nia. Beberapa kali aku bertemu dengan gadis itu ketika aku main-main ke Lampung. Nia terlihat lebih cantik. Dan aku tidak tahu, dan tak ingin tahu bagaimana hubungannya dengan Ardi. Karena semenjak kejadian itu, Ardi tak pernah bercerita masalah Nia lagi. Mungkin karena sikapku yang sedikit menghindar.
Hari ini, aku berencana ke Bogor. Karena hari libur kerja, aku berencana untuk bertemu dengan Alfa. sekedar untuk bermain-main. Laki-laki itu ternyata masih tetap sama, masih tetap taat beribadah walau penampilannya lebih gaul. Pernah suatu hari aku mengomentari penampilannya.
“nggak cocok, kayak anak nakal, Al.” ucapku saat reuni SMA.
Alfa hanya tersenyum kecil. “ini buat nutupi siapa aku, Fal…” jawabnya.
Aku hanya manggut-manggut saat itu sambil tersenyum.
Turun di bandara, aku langsung menghirup udara segar.
“Alhamdulillah…” ujarku pelan. Dua tahun sibuk bekerja, membuatku tak memikirkan kehidupan di Jawa. Jakarta memang lebih padat.
Aku memilih untuk naik taksi ke apartemen Alfa. Salah satu yang kusukai dari Alfa adalah dia sangat menghormati wanita. Apalagi wanita yang berkerudung seperti aku. Aku tersenyum mengingat sikap Alfa.
Begitu taksi berhenti tepat di alamat yang kukatakan. Aku langsung turun setelah memberikan uang lima puluh ribu pada bapaknya. Apartemen Alfa berada di lantai nomer dua dari atas, dan paling atas adalah masjid. Begitu tiba di lantai 30, samar-samar aku mendengar suara seseorang yang mengaji surat Ar-Rahman. Ada sesuatu yang mengalir di dadaku. Terasa sejuk dan menenangkan. Aku benar-benar merinding dibuatnya. Begitu tiba di depan pintu apartemen Alfa. aku segera menekan bel.
“assalamua’alaikum…”
Tak lama pintu terbuka. Dan Alfa muncul sambil tersenyum manis. “wa’alaikumsalam… masuk,” katanya sambil melebarkan pintu.
Aku segera masuk, dan Alfa membiarkan pintu apartemennnya terbuka.
“maaf, Fal. Aku baru pulang, jadi belum mandi.”
“kan hari libur,” kataku.
Alfa tersenyum. “tadi ada urusan.”
Aku hanya mengangguk-angguk. Dengan suasana yang kembali sunyi, suara merdu itu kembali menggelitik dadaku. Aku tersenyum sambil memejamkan mata. “siapa sih yang ngaji ini, Al. suaranya merdu banget.” Kataku masih memejamkan mata.
Alfa tersenyum. “temen,” katanya simpul. “apalagi kalo denger suaraku. Serasa suara dari surga.”
Aku segera tergelak. “dari neraka kali.” Ucapku di sela tawa. Teringat masa-masa SMA dulu saat kubilang suara Alfa merupakan suara dari neraka.
“aku mandi dulu ya, Fal.” Katanya.
Aku hanya mengagguk.
“Assalamu’alaikum…”
“wa’alaikum salam…” Alfa tersenyum menatap ambang pintu. “Fal, suara dia yang ngajinya merdu tadi.” Ucap Alfa membuatku menoleh ke ambang pintu.
Detik itulah segalanya terasa berhenti. Laki-laki itu begitu tampan, tinggi dan gagah berdiri di ambang pintu. Dia memakai sarung, baju taqwa putih dan kopyah putih. Dia Ardi. Laki-laki yang selama ini menghilang dari hidupku namun tak menghilang dari hatiku.
Pelan aku berdiri, mataku mulai berkaca-kaca. Entah kenapa aku ingin menangis melihat laki-laki itu.
“Ardi?” suaraku terdengar lirih.
Ardi tersenyum sambil mengangguk. “assalamu’alaikum, Fal.”
Saat itu lah air mataku kembali menetes. “wa’alaikum salam…” suaraku bergetar. Terharu, senang bisa melihat Ardi yang masih sehat. Mata coklatnya masih sama, tertutupi oleh kacamatanya.
“gimana kabarnya?” tanyanya masih dengan senyuman. Dan posisinya masih sama, berdiri di ambang pintu dengan sejadah di pundak.
“Alhamdulillah baik, Ar. Kamu gimana? Masih sehat kan?”
Ardi tersenyum. “Alhamdulillah sehat, makasih udah pernah minjemin HP-mu waktu itu. Walau kamu coba ngehindar. Kalo kamu nggak minjemin HP-mu aku nggak mungkin liat SMS-mu sama Alfa. Dan aku nggak mungkin bisa jadi kayak sekarang ini.”
Aku menunduk. Tak percaya dengan semuanya. Kini Ardi satu keyakinan denganku.
“sejak kapan?” Tanyaku sambil kembali mendongak.
“sejak aku keterima kerja di Bogor. Aku memilih ikut keyakinan Mama, sama kayak Kakakku.”
Aku tahu, Papa Ardi memang beragama katolik, sementara Mama dan kakak pertamanya beragama Islam.
“aku nggak mau ngeliat kamu nangis lagi, Fal.”
Aku tergelak dibuatnya. “hehe… aku cuma khawatir aja ngeliat kamu waktu itu.”
“khm… khm…”
Seketika aku sadar, bahwa di sana masih ada Alfa yang belum beranjak ke kamar mandi. Aku langsung menoleh menatap Alfa sambil tersenyum malu.
“aku mandi dulu ya, Fal…” katanya penuh penekanan.
Aku tersenyum. “iya Ustad…” balasku. Alfa langsung meninggalkan kami berdua. Aku tidak tahu harus bagaimana. Hatiku sangat senang bertemu dengan Ardi lagi. Terharu, gembira. Ada gelenyar aneh yang mengalir di dada. Gelenyar hangat. Dan untuk kali pertama, kami sholat isya berjamaah di sana.
Semenjak itulah, segalanya berubah. Ardi melamarku dan menjadi imam dalam kehidupan baruku.

Cerpen Karangan: Ulfa Nurul Hidayah
Facebook: Ulfa Chan Ga Sukida
Read More

My Love My Sakura


Bwara Mr. Simple simple…
Lantunan dering handphone bernyanyi nyaring. Membuat siapapun yang mendengarnya akan berdecak kesal saat ini. Tentu saja. Saat ini jam dinding berdentang sebanyak empat kali yang berarti masih sangat pagi untuk membuka mata. Song Jaena, gadis berambut hitam ini berdecak kesal sembari mengucek matanya. Tangannya bergerak menggapai nakas samping tempat tidurnya, dia semakin membulatkan matanya yang sudah bulat saat retinanya menangkap sebuah nama yang tertera disana. Dengan ragu, dia menekan tombol hijau, menjawab panggilan konyol itu.
“Yeoboseyo? Y — Ya!! Ada apa pagi buta begini menelponku, eoh? Aku masih mengantuk!” Jaena sebisa mungkin menutupi rasa gugupnya. Hening. Tak terdengar sebisik suara pun di sebrang sana. ’Bagaimana kau bisa menelponku, Eunhyuk Oppa!’ Jaena membatin.
“Op – oppa? Ada apa denganmu, eoh?”
“eob – eobseo..”
“hah? Kau bercanda? Aku masih mengan – ”
“SARANGHAE JAE NA-YA!! JEONGMAL SARANGHAE!!”
PIP. Sambungan di putuskan. Jae Na tampak melongo di tempat. Apakah benar Eunhyuk mencintainya? Sejak dulu dia memang tak pernah tahu bagaimana perasaan Eunhyuk. Tapi apakah ini balasan dari perasaannya semenjak dua tahun lalu? Kalaupun iya, bagaimana mungkin dia menyatakan perasaannya di pagi buta begini?
Jaena mendesah pelan. Dibaringkannya kembali tubuh mungil berbalut piyama biru muda itu, Jaena menengadah menatap dinding kamar atasnya. “Eunhyuk oppa, aku harap kau serius dengan ucapanmu. Aku tak mau cintaku bertepuk sebelah tangan, monyet babo ku yang tampan!” gumam Jaena pelan sembari menutup matanya, mencoba tidur kembali.

Matanya menerawang menatap hamparan biru yang ditemani arakan awan putih yang mempesona. Sesekali bibirnya menampakkan senyum dua jari. Dia tersenyum geli saat pikirannya kembali melayang pada beberapa tahun lalu, saat Eunhyuk pertama kali menyatakan perasaannya. Dia ingat saat pagi buta itu. Dia ingat suara gugup itu. Dia ingat teriakkan ‘Saranghae’ itu. Memang terdengar konyol sebenarnya, tapi itulah cinta.
Jae Na beranjak dari duduknya. Melangkahkan kaki di antara deretan kokoh pohon sakura. Satu-persatu kelopaknya berjatuhan tepat mengenai kepalanya. Perlahan dia menutup mata menikmati jutaan aroma sakura sejauh mata memandang, menghirup aroma kebahagiaan. Pikirannya kembali menerawang saat Eunhyuk mengajaknya ke taman yang di penuhi guguran bunga sakura seperti saat ini.
Flash Back
“Eunhyuk-ah! Bisa kau jelaskan maksudmu tadi pagi?” ujar Jaena ragu, kepalanya tertunduk menatap pijakan di bawahnya. Dia memelintir ujung rok seragam yang di pakainya, mencoba menetralisir rasa gugup yang didera. Tak sedikit pun ia berani menatap sosok pria di hadapannya. Bagaimana mungkin, sorot matanya yang tajam sarat akan ketegasan membuatnya tak akan berani menatapnya secara langsung, membuat darahnya bergejolak hebat saat dia berada di dekatnya, membuat bibirnya mendadak bisu saat Eunhyuk sekadar mengajaknya berbicara. Membuat jantungnya berdetak tak karuan saat berhadapan dengannya. Pikirannya berkecamuk, entahlah bagaimana bisa jantungnya berdetak berlebihan seperti ini, apakah jika dia bertemu hantu detak jantungnya akan sama seperti ini? ah, Jaena rasa tidak. Dia pernah mengalami hal-hal yang misterius tetapi detak jantungnya tak berlebihan seperti ini. ‘Tuhan, tolong aku’ gumamnya dalam hati. Matanya yang bulat, dia buka lebar-lebar tak percaya saat mendengar hal yang terduga.
“Pagi? Memangnya apa yang aku katakan tadi pagi?”
JEDEEERR!!!
Jaena serasa tersambar petir di siang bolong. Dia tidak menyangka pria itu malah bertanya balik? Ouh, sungguh dia tak mempersiapkan respon apapun jika jawaban Eunhyuk akan seperti ini.
“Bukankah pagi buta kau menelponku? Kau mengucapkan sesuatu yang aku tak mengerti”
“Oh Jinjja? Pagi buta aku menelponmu? Mianhae, aku tak ingat. Mungkin aku mengigau, aku memang sering mengigau sambil menelpon orang, hehe. Jeongmal mianhae kalau aku mengganggu tidurmu tadi pagi!” Eunhyuk mengeluarkan senyum gusi andalannya sambil membuat tanda V dengan jarinya.
“Oh begitu, lalu untuk apa kau mengajakku kesini?” nada bicara Jaena terdengar kecewa.
“Hanya jalan-jalan. Bukankah kita butuh refreshing? Otakku terlalu penuh dengan pelajaran sekolah.” Eunhyuk mendudukkan dirinya di salah satu bangku panjang. Dilihatnya wajah Jaena yang terlihat kecewa. Dia memalingkan wajahnya ke samping dan tersenyum penuh teka-teki.
“Jaena-ya, duduklah! Kau tidak pegal berdiri begitu?” Eunhyuk menepuk-nepukkan tempat duduk di sampingnya.
“Ohk? Tidak terimakasih, ak-aku ingin cepat pulang. An-nyeong!” Jaena melangkah pergi setelah sebelumnya membungkuk berpamitan. Kecewa, sakit! Itulah apa yang dirasakan Jaena sekarang, setelah tadi pagi Eunhyuk membuatnya melayang, apa yang dilakukannya saat ini? dengan wajah tak berdosa dia bilang itu hanya mengigau. Aish, sebenarnya Jaena tahu, itu memang bukan salah Eunhyuk, tapi ini sama saja memainkan perasaannya. Gagal lagi. Sudah beberapa kali Eunhyuk membuat hatinya sakit seperti ini, seharusnya dia berhenti mencintai Eunhyuk, apalagi saat mengetahui dia seorang cassanova.
Sudah tak terhitung berapa kali aliran cairan bening dari matanya, dia tak bisa berhenti menangis sama seperti dia tak bisa berhenti mencintai Eunhyuk. Sesaat Jaena menghentikan langkahnya, dengan sekuat tenaga dia meremas dadanya, sakit dan mendongak ke arah langit “Ya Tuhan, kenapa sesakit ini? aku memang yeoja babo. Aku terlalu mengharapkan Eunhyuk oppa! Tak seharusnya aku seperti ini!” apakah Jaena berlebihan? Entahlah, tapi memang sesakit inilah cinta tak terbalas, apalagi saat kita sudah dibawa terbang melayang, dan pada akhirnya kita di jatuhkan sekeras-kerasnya. Eunhyuk memang tak pernah tahu bagaimana perasaannya, tapi… bisakah? Bisakah kau tak memberiku harapan kosong?
GREPP
Jaena menghentikan tangisnya saat ada sepasang tangan memeluknya dari belakang. Dia mencoba menghapus sisa-sisa air matanya saat sepasang tangan itu membalik tubuh rampingnya dengan sigap. Sepasang mata itu, mata yang selalu dia ingin pandang, memandangnya dengan tatapan lembut tetapi seakan menusuk tajam matanya yang bening.
“Kenapa kau pergi Jaena-ya? Bahkan aku belum selesai bicara!”
“untuk apa kau mengejarku? Memangnya apa yang ingin kau bicarakan?” ujar Jaena ketus.
“Aku ingin memberimu ini!” masih dengan posisi berhadapan dengan tangan kekar Eunhyuk yang masih melingkar di pinggang Jaena. Eunhyuk mendekatkan wajahnya pada Jaena seraya menutup mata. Jaena yang memang tahu apa yang akan dilakukan Eunhyuk, turut menutup mata. Mengikuti permainan Eunhyuk di bibir cerinya.
Beberapa saat kemudian, Eunhyuk menjauhkan wajahnya perlahan dan tersenyum lembut. Di usapnya bibir Jaena dengan ibu jarinya “Ini yang ingin aku berikan padamu, Mianhae, aku mengerjaimu tadi. Aku tidak mengigau, aku sadar sesadar-sadarnya. Maaf aku membuatmu menangis, maaf aku membuatmu terluka dengan perlakuanku, aku memang namja pecundang.”
“Ne, kau memang namja pecundang oppa. Seorang namja sejati tidak mungkin menyakiti hati seorang yeoja, apalagi yeoja lemah sepertiku.” Jaena menundukkan pandangnya. Mencoba menutupi rasa kesal, marah bahkan sakit yang tercurah melalui aliran sungai di pipi mulusnya. Sakit? Marah? Tentu saja. tapi tak ada seorang pun yang tahu bahwa kini, bunga sedang bermekaran di relung hatinya.
“Aku tahu Jaena-ya. Bahkan sangat tahu!” Eunhyuk merasa tak enak hati. Kenapa harus begini akhirnya? Sejujurnya, apa yang dilakukan Eunhyuk itu bukan semata-mata menyakiti Jaena, hanya saja… dia tak ingin terulang untuk kedua kalinya.
“Apa? Memangnya apa yang kau ketahui? kau tidak lebih dari seorang cassanova!” Jaena tak mengerti. Memangnya namja itu mengetahui apa? Mengetahui bahwa dirinya hanyalah yeoja lemah yang mudah dipermainkan? Oh, bagus sekali Casanova jelek.
Euhyuk tertegun. Memandang wajah kacau gadis di hadapannya. Sesakit itu kah? Sebesar itu kah cintamu Jaena-ya? Eunhyuk menarik dagu Jaena agar pandangan mereka bertemu. Disekanya airmata gadis itu dengan ujung jarinya lembut, “Uljima, aku tak mau kau terlihat seperti ini karena aku. Biarkan aku menjelaskan semuanya! Cha … kita duduk di bangku itu saja!”
“Tapi Eunhyuk-ssi …”
“Sudahlah Jaena, bisakah kau dengarkan dulu penjelasanku?” mohon Eunhyuk tegas. Mata tajamnya menghujam mata Jaena. Kalau sudah seperti ini, apa lagi yang dapat dilakukan Jaena? Memandang matanya saja sudah membuatnya membungkam dan Jaena tahu, terdapat ketulusan disana.
“Sebenarnya, entah mengapa, aku sudah mengetahui perasaanmu dari awal kau menyukaiku dan aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu. Tapi, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, karena aku pernah mengalami pengalaman buruk dengan seorang yeoja yang aku cintai di masa lalu. Aku takut kejadian itu terulang lagi, Jaena-ya!” Eunhyuk menatap mata bening Jaena lekat. Mencoba mendapatkan kepercayaannya.
“Kau tahu? Dia sudah menyakitiku. Maka dari itu, aku ragu untuk memulainya kembali bersamamu. Aku mencoba mengulur waktu untuk menyatakan perasaanku padamu, dengan cara melihat bagaimana responmu!”
“Respon apa maksudmu?”
“Respon bagaimana jika aku menjadi cassanova. Aku mencoba berpura-pura menjadi seorang cassanova agar mengetahui apakah kau tulus atau tidak!”
“Dan ternyata?”
“Kau diluar dugaanku. hatiku mengatakan kau lebih dari sekedar tulus mencintaiku. Bahkan terkadang aku sering memergokimu menangis karena ku, mianhae, jeongmal mianhae!” Eunhyuk merasa bersalah lagi. Apakah dia salah mengatakannya? Semoga saja tidak. Toh dia sudah jujur sejujurnya. Di genggamnya kedua tangan Jaena dengan tulus. Menyalurkan permintaan maaf yang tergambar dari sinyal hati.
Apakah Jaena memaafkannya? Entahlah tak ada respon apapun darinya. Matanya hanya memandang lurus pada genggaman tangan Eunhyuk. Perlahan dia menganggukkan kepalanya pertanda ada balasan maaf yang tergambar. “Ne, aku tak bisa untuk tidak bisa memaafkanmu, Oppa!” Senyum manis tergambar di wajahnya. Seolah memberikan kekuatan tak terbatas yang hanya dapat di rasakan oleh namja seberuntung Eunhyuk.
Eunhyuk tersenyum lebar dan berterimakasih lewat tatapan matanya. Betapa beruntungnya Eunhyuk jika yeoja ini menjadi kekasihnya. “Gomawo Jaena-ya, baiklah aku rasa ini saat yang tepat. Yeojachinguga doeojulleo? (maukah kau menjadi pacarku?)” ucapnya perlahan dengan posisi berlutut di hadapan Jaena seraya mengeluarkan sebuah mahkota yang terbuat dari rangkaian bunga sakura. Eunhyuk mengulurkan telapak tangan kanannya ke hadapan Jaena setelah sebelumnya dia berdiri dan membiarkan mahkota sakura itu bertengger manis di kepala gadisnya.
“Jaena-ya, kau bisa berdiri dan menaruh tanganmu dalam genggamanku bila kau menerimaku menjadi namjachingumu!” Jaena tersenyum haru. Mengangguk, tangannya terulur menggapai tangan Eunhyuk dan bangkit dengan senyuman manis di wajahnya.
“Gomawo chagia, aku berjanji akan menjaga hatiku untukmu” ucap Eunhyuk lembut dan menarik Jaena ke dalam pelukannya.
Flash Back Off
Satu .. Dua .. Tiga .. bahkan jutaan guguran kelopak sakura yang jatuh di hadapannya. Jae na seolah mengabsen berapakah jumlah sakura yang berjatuhan saat ini, apakah guguran sakura ini sebanding dengan banyaknya mekaran bunga yang bersemi di hatinya kini? Ah, sungguh dia tak ingin menggombal, tapi memang inilah kenyataannya. Kenyataan yang membuatnya serasa layaknya jutaan bunga yang bermekaran setiap saat di relungnya. Namja itu, namja yang selalu mengisi hari-harinya. Namja yang selalu dia pandang pertama kali saat terbangun mengawali hari. Eunhyuk, namja berambut pirang itu kini tampak kelelahan di arah sana. Jae na tak dapat berhenti tertawa saat Eunhyuk terjatuh lagi dan lagi.
DZIIIIIG BRUGGGG!!!
“Aigoo, pinggangku sakit sekali!!” Entah untuk yang ke berapa kalinya Eunhyuk harus bernasib sial. Kepalanya, perutnya, badannya, dan anggota tubuh lainnya harus mendapat perlakuan buruk yang berasal dari tendangan bola. Dia bangkit seraya memegangi pinggangnya yang sakit.
“APPA PAYAH!!!!” teriakkan sengit yang tertangkap telinga Eunhyuk. Ditatapnya tajam seseorang yang tak jauh berdiri di hadapannya.
“YA!! KAN SUDAH APPA BILANG PELAN-PELAN, EOH? AISH PINGGANGKU!!” Teriak Eunhyuk sadis pada anak kecil berumur lima tahun di hadapannya.
“HAHAHAHA, MIANHAE APPA!! AKU LUPA KALAU APPA SUDAH TUA!!” Jae bin, anak namjanya itu tertawa bahagia. Sedangkan Eunhyuk? tangannya masih mengusap-usap pinggangnya yang malang itu. Geram? tentu saja ingin rasanya menjitak anaknya yang nakal itu, sayang umurnya masih lima tahun, sabar Hyuk .. sabar .. inilah cobaan menjadi seorang appa, hiburnya dalam hati. Tetapi nampaknya Eunhyuk tak bisa berlaku sabar, dia bilang apa? Sudah tua? Oh yang benar saja anak nakal!
“MWO? SUDAH TUA KAU BILANG? AISH,!! IGE, TANGKAP BOLANYA!!” Eunhyuk melempar bola yang tadi membuatnya jatuh tersungkur. Dan bingo! Kini bola malang itu tepat sasaran mengenai kepala Jae bin. Haha kena kau Jae bin! batin Eunhyuk. tapi nampaknya keberuntungan sedang tak berpihak pada Eunhyuk, anaknya yang nakal itu malah menangis keras.
“huaaaaaa … Eomma!!! appa jahat eomma!! kepala Jae bin sakit!!”
“Appa!! Apa yang appa lakukan pada Jae bin, eoh?” Jae rin, kembarannya menghampiri Eunhyuk dengan matanya yang bening menatap tajam. “Aish, Appa memang payah! Beraninya pada anak kecil seperti kami, ini rasakan!” Dzigggg—– satu lemparan lagi mengenai kepala Eunhyuk. Pria itu menganga tak percaya, ya ampun bagaimana bisa anak sekecil mereka melakukan diskriminasi pada ayahnya sendiri? setahunya tak ada darah evil mengalir dalam dirinya atau istrinya –Jaena- lalu bagaimana mungkin Eunhyuk dan Jaena memiliki anak se-evil mereka?
Eunhyuk meringis pelan merasakan kepalanya yang berdenyut, tangan kanannya meraba sekitar ubun-ubunnya. “eoh sakit sekali! Sebenarnya mereka itu anak siapa, ish!” gerutunya. “Ya sudah Appa minta maaf, kalian berdua bermain lah berdua! Appa istirahat dulu eoh!” ujar Eunhyuk pada kedua anak kembarnya –Jae bin dan Jae rin-. kemudian Eunhyuk berbalik dan melangkah di tengah hujatan sinar matahari siang yang menyengat. Matanya mengedar ke sekeliling taman mencari objek yang dirindukannya selama beberapa jam ini, berlebihan? Mungkin bisa di bilang iya.
Pria berambut pirang itu tersenyum saat objek yang dicarinya tertangkap oleh matanya. Eunhyuk mengeluh dalam hati, kenapa Jaena terlihat begitu damai dan tenang disana saat dirinya merasakan kesakitan akibat ulah anak mereka? Sungguh tidak adil, pikirnya.
“Chagiyaaaaa… lihat dahiku memar berkat ulah anakmu!” mulai merajuk. Dengan perlahan dia merebahkan kepalanya di pangkuan Jaena. Jaena terkikik geli, mengingat kejadian yang tadi dilihatnya. Dia tak menyadari Eunhyuk merengut sebal di pangkuannya.
“Yak! kau malah tertawa? Jadi kau bahagia melihat dahiku memar-memar seperti ini, eoh?” Eunhyuk menggerutu sebal, tangannya tak berhenti mengelus dahinya yang memar.
“Oppa sayang, tentu saja tidak chagiya, mana mungkin aku tertawa di atas kesedihan suamiku sendiri, eoh? Lagipula kau ini kenapa manja sekali sih?”
“Yak! Memangnya kenapa kalau aku manja padamu? Kau kan istriku, ya sudah sewajarnya!”
“Ya sudah, Oppa! Berhenti cerewet seperti itu! Lama-lama kau jadi seperti yesung oppa, kau tahu?”
“Yakkk! berani-beraninya kau menyamakan aku dengan hyung bawel itu, ish..”
“Baiklah aku minta maaf, sekarang istirahatlah! Oppa terlihat lelah!” ucap Jaena lembut. Eunhyuk mengangguk pelan dan mencoba memejamkan matanya. Jaena tersenyum, tangan lentiknya mengelus rambut pirang Eunhyuk. Matanya memandang wajah Eunhyuk yang di pangkuannya. Matanya, hidungnya, bibirnya, kulit putihnya. Begitu sosok Eunhyuk sangat berharga baginya. Mata ini, yang selalu memberikan tatapan teduh nan lembutnya. Bibir ini, yang berkali-kali dengan lembut menyentuh kedua daun bibir cerinya. Jaena seolah mengabsen wajah tampan di hadapannya. Begitu wajah ini selalu terpatri dalam pikirannya, dalam hatinya, membuat darahnya berdesir setiap wajah ini memandangnya.
Jaena menghentikan sentuhannya dan mengeluarkan sebuah tissue dari tasnya. Dia menyeka peluh yang mengalir di wajah Eunhyuk. “Kau terlihat kelelahan oppa, Gomawo! Kau telah menjadi Appa yang baik untuk anak-anak kita. Dan juga suami yang terlampau baik untukku” gumam Jaena lirih.
Eunhyuk tersenyum dengan mata yang masih terpejam. Dia tertidur? Jawabannya tidak. Dia hanya sekedar memejamkan mata, merasakan sebuah sentuhan yang membuatnya terhanyut dalam kebahagiaannya. Damai. Begitu damai. Sudah lama dia tak rileks seperti ini. pekerjaannya sebagai presdir di sebuah perusahaan membuatnya sangat sibuk, bahkan untuk sekedar bercengkrama dengan anak dan istrinya. Inilah yang dibutuhkannya. Canda tawa bahkan kejahilan anak-anaknya, sentuhan lembut istrinya yang membuatnya merasakan kebahagiaan tak terbatas, kedamaian yang tiada banding dan menghapuskan segala macam kepenatan yang berputar di otaknya.
Eunhyuk membuka mata. Membuatnya beradu pandang dengan mata Jaena yang bening. Pria itu tersenyum dan bangkit dari posisinya. Meraih tubuh Jaena kedalam dekapannya. Dibelainya rambut panjang hitam bergelombang milik istrinya itu sesekali Eunhyuk mengecup puncak kepala Jaena.
“Saranghae chagiya, gomawo, jeongmal gomawo! Kau memang penyempurna hidupku!” Jaena melepaskan dekapan Eunhyuk dan menggenggam tangan suaminya itu.
“Nado oppa! Kau juga penyempurna hidupku!” Jaena tersenyum manis. Bahkan lebih manis dari biasanya. Di bawah pohon sakura dengan guguran kelopak sakura yang terbang mengiringi ritme angin. Dengan segala rasa yang ada di hati kedua insan itu, mereka mendekat dan memejamkan mata, mencoba menghapus jarak di antara keduanya. Seolah udara pun tak dapat mengisi kekosongan diantara mereka. Kini tak seinchi pun jarak di antaranya.
DUGG!!!
“Aww, Appo! Yak!! Jae bin-ah! Jae rin-ah! Apa yang kalian lakukan, eoh?” untuk yang kedua kalinya Eunhyuk geram pada anak-kembar-evilnya.
“Mianhae appa, bukan kami yang melakukannya! Tapi bola ini!” Jae bin tersenyum jahil sambil menunjuk bola yang berada di genggamannya. Jae rin di sampingnya mengangguk mengiyakan ucapan kembarannya. “Nde Appa! Eomma! bukan kami, tapi bola ini! ya sudah lanjutkan aktivitas kalian Eomma dan appa! kami akan bermain bola lagi!” seru Jae rin dan tersenyum penuh arti.
“Yakk!! anak nakal mengganggu saja, pergi sana!” Eunhyuk mendesis sebal. Di arahkannya pandangannya pada Jaena yang tampak tertunduk malu dengan semburat merah di kedua pipinya. “Chagiyaaa, kenapa wajahmu merah seperti itu? Kajja, kita lanjutkan aktivitas kita yang tadi tertunda!” Eunhyuk tersenyum sambil mengangkat sebelah alisnya jahil.

Beratapkan sakura, aku mengenalmu. Beratapkan sakura ku titipkan hatiku di relung hatimu. Beratapkan sakura aku belajar mencintaimu. Beratapkan sakura telingaku mendengar kata ‘I DO’ dari bibirmu. Dan beratapkan sakura pula, aku bahagia bersamamu. Jaena-ya, my sakura! Izinkan aku menjadi sebuah payung yang dapat melindungimu kapanpun dan dimanapun. Aku akan menjadi kidung penenang yang tak akan beranjak dari sisimu hingga ajal yang merenggut perjalanan kita yang berpacu waktu di dunia.
Song Jae Na, aniya Lee Jae Na aku selamanya milikmu dan kau selamanya milikku.

THE END

Cerpen Karangan: Hajar siti Khotimah
Blog: imahinamori.wordpress.com
FB: Hajar Siti Khotimah
Read More